Kenapa Malah Menyakiti?

95 26 5
                                    

"Awalnya El gak bersalah, Bu. Niatnya baik mau membantu adik kelasnya yang di-bully oleh teman-temannya," sahut Pak Bambang sambil menyunggingkan senyum terpaksanya. Berusaha untuk mengontrol emosinya. "Tapi, karena El sudah terlibat perkelahian, mengingat pula kalau dalam masalah-masalah sebelumnya yang belum membuat El jera, mohon maaf, pihak sekolah sudah sepakat untuk meminta El 'dirumahkan' selama seminggu."

Oma Melati mengangguk takzim. Sesekali wanita paruh baya itu melirik cucu semata wayangnya yang hanya memasang wajah datar.

"Oh, ya, satu lagi, El .." Gadis itu menoleh malas. Ia ingin sekali pulang sekarang.

Pak Bambang mengambil beberapa kertas dari dalam laci dan meletakkannya di meja. Sehingga El dan Oma Melati bisa melihatnya. "Kamu cerdas, tapi hanya saja sikap kamu tidak sebagus nilai-nilai akademik kamu. Mungkin kamu banyak berulah karena kamu hanya ingin diperhatikan orang-orang."

Gadis itu pura-pura mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Bosan diceramahi seperti ini. Pak Bambang hanya mampu menghela napas melihatnya. "Semoga seminggu di rumah bisa membuat kamu berubah dan berpikir banyak soal perilaku kamu selama ini sebelum pihak sekolah memutuskan untuk angkat tangan dan mengeluarkan kamu dari sekolah."

"Hidup terlalu berharga untuk sekadar disia-siakan. Kamu yang mengatur jalan hidup bukan selalu yang paling benar. Mereka yang berkata mengenai hidupmu bukan juga selalu salah. Ingatlah, hanya Allah yang mengetahui jalan hidup manusia. Kita hanya bisa tiga, memilih, merencanakan, dan menjalankan. Sementara semua ketetapan, kembali kepada Allah yang menentukannya. Pikirkan itu sebelum kamu benar-benar menyesal, El."

Ya, hanya Allah yang mengetahui jalan hidup manusia. Hanya Allah yang tahu isi skenario hidup ini. Tapi haruskah skenario Allah selalu saja menghancurkan kebahagiannya dan membuat ia menumpuk kekecewaan yang amat besar selama bertahun-tahun?

Ia hanya ingin bahagia. Itu saja, kok.

- Oma Melati -

"Slan, lo beneran mau masuk Rohis?" tanya Gino, anak kelas IPA-2 sekaligus ketua Rohis. Ia masih terkejut karena Aslan, anak baru yang terkenal karena nyari gara-gara dengan El itu, mendaftarkan dirinya untuk masuk Rohis.

"Iya. Gak apa-apa, kan?" tanya Aslan.

Gino terkekeh. "Ya, nggak papalah. Besok lo ikut rapat, ya. Anak Rohis mau rapat buat agenda bulan ini. Siapa tau lo ada ide buat acara-acara Rohis."

"Iya, Gin. Insya allah, gue dateng. Gue duluan, ya. Assalamu'alaikum," pamit Aslan.

"Wa'alaikumussalam, hati-hati, Slan."

Aslan buru-buru melangkah dari halaman musala dan pergi ke halaman parkiran sekolah. Murid-murid lain masih heboh perihal kasus El dan Calline di gudang tadi. Lebih heboh lagi ketiga temannya, terutama Azzam, yang kini sibuk mencari Calline serta antek-anteknya untuk diinterogasi. Lumayan buat bikin konten, kata Azzam tadi.

Tentang El, Aslan tidak habis pikir. Bisa-bisanya setelah dia mempermalukannya di depan murid-murid lain, gadis itu tidak tobat sama sekali dan malah terlibat masalah lain? Apa-apaan? Entahlah apa gadis itu memang mencari masalah atau memang dirinya itu ibaratkan magnet yang menarik masalah-masalah mendekat dengannya.

Ia menaiki sepedanya yang terparkir di sana. Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Membuat Aslan yang sudah bersiap untuk mengayuh memutuskan untuk mengecek pesan tersebut.

Mood-nya yang tadi sudah lumayan membaik kini hancur kembali ketika membaca pesan tersebut.

Kamu di mana? Udah ketemu sama Abin?

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang