Benci

126 36 5
                                    

"Slan! Tunggu, Slan!" Aslan menoleh sekilas ke belakang, mendapati tiga orang temannya sedang lari terbirit-birit ke arahnya. Cowok itu melengos, lantas melanjutkan langkahnya ke kelas.

"Tuh, bocah kagak ngerti bahasa Indonesia apa, ya?" Azzam mengomel pelan. Disusul helaan napas berat dari Reyhan.

Aslan masuk ke kelas dan langsung duduk di bangkunya. Tidak mempedulikan teman-teman barunya yang ngos-ngosan begitu sampai di kelas. Tangannya meraih buku dari dalam tasnya yang menganga lebar. Membuka halaman terakhir yang ia baca dan segera larut dalam kalimat demi kalimat di buku setebal 321 halaman itu.

Ketiga cowok itu segera mengambil posisi di dekat Aslan. Menatap wajah Aslan, meminta penjelasan atas sikapnya tadi di dekat musholla. Aslan bisa mendapat masalah pertamanya jika ada guru yang tahu.

"Slan, Slan, ish, lo keras kepala banget, sih. Lo harusnya nurutin aja kata El tadi. Bukannya gak susah keliling sekolah bentar aja? Kasian si El. Pasti nanti Pak Bambang negur dia karena dianggap lalai," ujar Haziq panjang lebar.

Aslan bergeming.

"Lo cari perkara sama orang yang salah, Slan. El pasti sekarang benci banget sama lo. Dia memang cewek, tapi kalau udah dendam sama orang, dia gak pernah main-main." Azzam ikutan nimbrung.

"Belum lagi satu sekolah udah tau tadi lo ribut sama El. Ribut sama cewek. Pasti para pengghibah makin aktif." Haziq menghela napas panjang. "Minta maaf, gih. Kasian tau dia."

Aslan tetap bergeming.

"Susah, ya, ngomong sama lo." Reyhan menggaruk kepalanya.

Aslan tidak tertawa, tidak tersenyum, tidak juga melirik tajam ke arah temannya. Membiarkan ketiga temannya ini berkicau sementara dirinya sibuk membaca. Dia tidak mau mendengar apa-apa tentang gadis bernama El yang sekarang sedang jadi bahan gosip ketiga temannya. Baginya, cewek itu bukan siapa-siapa di hidupnya.

Dia tidak terlalu peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Sudah sejak bertahun-tahun ia menutup diri dari dunia. Sudah cukup rasanya bergelut dalam lingkaran hidupnya sendiri. Mengunci akses masuk pada hati dan pikirannya untuk orang lain. Dia lebih suka kesendirian daripada kebersamaan.

Bergaul memang bukan keahlian Aslan. Sejak kecil teman-temannya bisa dibilang sedikit, bahkan nyaris tidak ada.

"Aslan, lo dengerin, gak, sih?" Haziq berkata gemas ketika menyadari kalau sedari tadi Aslan hanya sibuk sendiri dengan buku dan pikirannya.

"Salah kalian juga. Ngapain pakai live instagram segala. Karena itu, kan, satu sekolah jadi tau," tanggap Aslan. Membuat ketiga temannya meringis pelan. "Gue gak akan ikut ngobrol kalau kalian masih ngomongin cewek gila tadi."

"El itu aslinya baik. Tadi dia cuma mau menjalankan amanah dari Pak Bambang. Itu, doang," cetus Azzam. Haziq dan Reyhan mengangguk setuju.

"Harus banget maksa-maksa gitu?" Aslan menaikkan alisnya.

"El itu emang nyebelin, tapi kadang dia orangnya emang susah buat mengabaikan tanggung jawab dan kepercayaan orang lain. Memang sifatnya kayak gitu. Makanya dia maksa banget tadi," jelas Haziq pada Aslan.

Aslan memperhatikan teman-temannya satu per satu. Dari pembicaraan ini, Aslan menyimpulkan dua hal. Satu, tampaknya teman-temannya mengenal El dengan sangat baik. Terbukti dari beragam pembelaan yang mereka berikan. Dua, pasti El sangat mudah bergaul. Mungkin dia cukup humble sampai kalau terkena masalah, banyak yang membelanya.

Tiba-tiba, Reyhan berdecak. "Belum tuntas sehari lo di sini, fans lo udah banyak banget, Slan!" seru Reyhan dengan mata yang lima senti pun tidak lepas dari layar ponselnya. Binar matanya menunjukkan kalau dia kagum dengan sahabat barunya ini. "Eh, tapi haters lo gak kalah banyak, sih."

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now