Trauma

96 26 4
                                    

Seperti dugaannya, El keluar sebagai juara pertama. Prestasi yang membuat EL yakin kalau di sekolah nanti ia akan mendapat apresiasi dari murid-murid lain.

Namun, di luar dugaannya, hari ini semua orang bersikap aneh ketika melihatnya. Bahkan tidak ada satu pun yang menyapanya seperti biasa. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik seraya menatap ke arahnya.

Ada apa ini? Kenapa semua bersikap sangat aneh?

Rasa penasaran El terjawab saat Karin bilang kalau dia dipanggil ke ruangan Pak Aidan, direktur sekolah ini. Masih dengan rasa heran, ia melangkah menuju ruangan yang dimaksud. Sedikit terkejut karena melihat ruangan itu sangat ramai dan dipenuhi oleh guru-guru.

Ia tahu apa yang terjadi. Ia dipanggil ke sini untuk menjalani sidang. Sidang maut.

Tapi apa kesalahannya? Apakah mereka akan mengungkit-ungkit kesalahannya yang dulu?

El diminta untuk duduk tepat di hadapan Pak Aidan. Tak lama kemudian Bu Geysha masuk ke dalam ruangan dan meletakkan beberapa barang di depan El. Melihat barang-barang itu gadis tomboy tersebut sedikit terkejut dan merinding. Pasalnya barang-barang yang diletakkan di depannya adalah obat-obatan terlarang dan rokok. Barang-barang yang ia janji tak akan pernah sentuh.

"Kamu tau apa barang-barang ini, kan?" tanya Pak Aidan sambil menunjuk barang-barang di depan gadis itu. El buru-buru mengangguk. Tentu saja ia tahu. "Barang-barang itu Pak Wawan temukan di laci kamu, El."

Sontak El membulatkan matanya. Tidak mungkin! Dia tidak pernah menyimpan barang-barang seperti itu!

"Sekarang saya tanya, El, apakah barang-barang ini milik kamu?" tanya Pak Narji hati-hati.

Dengan cepat El menggeleng. Ia meremas roknya sendiri. "Bukan punya saya, Pak."

"Kamu tidak perlu takut, El. Beritahu saja yang sesungguhnya. Kalau itu memang punya kamu, kami akan membantu untuk menyelesaikannya," tambah Bu Hana, petugas UKS.

Sekali lagi El menggeleng. "Demi Allah itu memang bukan punya saya, Pak, Bu."

Pak Aidan menganggukan kepala. "Iya, saya dan guru-guru lain boleh jadi percaya, El. Tapi bagaimana dengan murid-murid lain? Mereka sudah tau masalah ini dan mungkin mereka akan memojokkan kamu di luar."

"Saya benar-benar tidak pernah memiliki dan membeli barang-barang seperti itu, Pak," ujar El, berusaha meyakinkan guru-gurunya.

Bu Geysha yang merasa kasihan melihat muridnya seperti itu pun berkata, "Pak, El mungkin memang suka membuat masalah. Tapi saya percaya kalau dia tidak akan membeli barang-barang seperti itu."

Guru-guru lain mengangguk, mengiyakan kata-kata Bu Geysha.

Pak Aidan menghela napas berat. Kasus ini terhitung cukup berat dan membingungkan. Apalagi yang terjerat adalah murid yang boleh dibilang berprestasi, tapi suka membuat masalah seperti El. Ia yakin murid-murid lain dapat dengan mudah menuduh El seolah ia memang menyimpan barang-barang terlarang ini.

"Ya, sudah, kamu bisa kembali ke kelas. Kami akan memproses kasus ini lagi. Saya yakin di luar sana masih ada yang percaya kalau kamu tidak bersalah," ujar Pak Aidan pada akhirnya. Gadis itu mengangguk lesu. Ia berdiri dan langsung keluar dari ruangan tersebut.

Sungguh, El tidak pernah ingin bertindak jauh dari yang orang lain kira. Kasus itu membuat atmosfer sekolahnya terasa sedikit berbeda. Untuk pertama kalinya, ia tahu rasanya dijauhi semua orang. Semua orang menatapnya dengan tatapan benci. Tatapan yang ia sendiri benci selama ini.

Ia masuk ke dalam kelas yang masih cukup sepi karena semua murid berada di luar. Baru saja duduk, tiba-tiba sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal masuk yang belakangan ini sering menerornya.

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now