Matahari dan Bulan, Tanpa Bintang Kecil

67 15 0
                                    

Selama satu jam pertama, mereka sama sekali tidak bicara satu sama lain. Terakhir mereka bicara saat Nathan minta bantuan untuk membantunya mengambil wudhu. Setelah itu tidak bicara lagi. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Aslan duduk di sofa sambil membaca Al-Qur'an. Mengabaikan Nathan yang matanya menerawang entah kemana.

Jika diperhatikan, wajah mereka tidak terlalu mirip. Bisa dibilang mereka ini kembar tidak seiras.

Kulit Aslan putih seperti ayahnya yang blasteran Indonesia-Spanyol. Sementara kulit Nathan sawo matang, sama seperti ibunya. Rambut Aslan lurus, sementara rambut Nathan sedikit ikal. Dari segi kepribadian pun mereka cukup bertolakbelakang. Aslan cenderung disiplin, rapi, rajin, penurut, dan pendiam. Sementara Nathan cenderung lasak, suka bermalas-malasan, dan suka mengganggu orang lain.

"Aslan ..." Cowok yang dipanggil namanya itu menoleh malas. "Temenin gue ke luar, dong."

Aslan mengernyit. "Mau ngapain?"

Ditanya seperti itu, Nathan hanya tersenyum tipis. "Mau ketemu Hanum."

Jawaban Nathan membuat Aslan terdiam sejenak. Ia tahu apa maksud anak itu. Tanpa basa-basi lagi ia berdiri dan mengambil kursi roda yang berada tak jauh dari mereka. Dengan cekatan ia membantu Nathan untuk duduk di sana. Tak lama kemudian mereka pun keluar dari ruangan.

Suasana di luar rumah sakit agak ramai. Para penjenguk berlalu-lalang di sana. Beberapa pasien pun tampak berada di luar sambil mengobrol bersama keluarganya dan menatap langit. Memang langit malam ini cukup indah. Membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.

Aslan berhenti mendorong kursi roda Nathan dan memberhentikannya di sebelah sebuah kursi taman. Lantas Aslan duduk di kursi taman tersebut. Ia melirik Nathan yang sudah mendongakkan kepalanya dan menatap langit di atas.

Dulu, sebelum semua kejadian buruk itu terjadi, Aslan seringkali melihat Nathan dan Hanum keluar dari rumah kala malam. Di sana mereka duduk di halaman rumah sambil menatap langit. Lantas kemudian sesekali bercerita satu sama lain. Begitulah kedekatan mereka. Mereka sudah seperti amplop dan perangko. Tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun, kecuali maut tentu saja. Aslan ingin sekali bergabung dengan mereka, yang sudah pasti akan disambut hangat oleh Nathan dan Hanum. Namun, egonya terlalu tinggi. Terlalu tinggi sampai dia melewatkan semua momen-momen terbaik bersama adik-adiknya.

Setelah Hanum meninggal, Aslan tetap melihat Nathan keluar dari rumah sendirian setiap malam. Ia duduk di halaman sambil memeluk lututnya. Tak lama duduk di sana ia mulai terisak dan menangis. Aslan sering melihat ia membenamkan kepalanya agar tidak ada yang melihatnya meneteskan air mata.

Aslan selalu ingin menemani Nathan di malam-malam itu. Tapi ia sadar betul kalau ia tidak akan membuat perasaannya semakin baik. Hanya akan semakin buruk.

Nathan menoleh pada Aslan yang sejak tadi diam saja. "Lo iri, ya, sama gue?" tanya cowok itu tiba-tiba.

Aslan mengangkat kepala. Ia paham kemana arah percakapan kembarannya. Dengan cepat ia menggeleng. "Nggak sama sekali."

Nathan tersenyum pahit mendengar jawabannya. Sudah ia duga. Ia sudah tahu kalau Aslan akan berbohong padanya. "Jangan bohong. Kalau lo marah, bilang saja. Kalau perlu marah-marah kayak tadi siang," celetuk Nathan.

Cowok di depannya itu hanya menggeleng. Tidak mengakuinya.

Hening kembali. Aslan sama sekali tidak berniat berbicara. Sementara Nathan kelihatannya sedang mencari topik agar ia bisa bicara pada Aslan.

"Lo tau gak, sih, Slan. Dulu Hanum suka banget nyebut kita kayak matahari, bulan, dan bintang," celetuk Nathan kemudian.

Aslan menoleh. "Kenapa gitu?"

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now