Perhatian-perhatian Kecil

77 19 0
                                    

"Ketika lo ada di titik paling bawah di hidup lo, di situlah lo bakal sadar, mana orang yang memang tulus sama lo dan mana orang yang selama ini hanya pakai topeng di depan lo."

- Kita & Luka -

Sejak Pak Rusli menyudahi pelajaran dan meninggalkan kelas, El memilih untuk duduk diam di kursinya sembari membolak-balik halaman bukunya. Niatnya, sih, ingin mengulang-ulang pelajaran yang sudah dibahas di pertemuan yang lalu. Mengikuti kebiasaan teman-temannya yang lain. Namun baru baca satu paragraf saja El sudah merasa bosan. Dia bukan tipe yang fokus belajar dengan membaca. Dia lebih suka mendengarkan.

Gadis itu tidak sadar sama sekali bahwa sejak bel berbunyi tadi, Fathia beberapa kali meliriknya. Ia ingin sekali menegur sahabat kecilnya, mengajaknya pergi ke kantin. Hati kecilnya tidak tega melihat El seperti ini. Selalu menyendiri dan dijauhi banyak orang. Walau hanya diam-diam saja, dia pasti merasakan sepi. Itu sudah tentu.

"Fathia!" Karin dan Nafisa telah berdiri di luar kelas. Melambai ke arahnya, mengajaknya untuk pergi ke kantin. Melihat itu Fathia bergegas berdiri dan mengambil mukenanya untuk salat duha setelah makan nanti.

"Lama banget, sih, lo. Kaki gue pegel nungguin dari tadi," keluh Nafisa berlebihan. Padahal mereka baru menunggu sekitar dua menit saja.

"Kenapa lo?" tanya Karin yang menyadari kalau sejak tadi Fathia terfokus ke hal lain.

Gadis berjilbab itu menoleh ke kelas. Memberi kode kepada dua sahabatnya sambil melirik El yang sejak tadi diam.

Karin menghela napas berat. Ia juga tahu hal itu. Ia menepuk bahu Fathia, berbisik padanya pelan. Takut El mendengar. "Tetap pada skenarionya, Fat. Sedikit lagi, kita pasti berhasil. Percaya sama gue."

Nafisa mengangguk sebagai dukungan. Akhirnya Fathia hanya mengangguk pasrah. Lantas mereka bertiga meninggalkan tempat itu.

El masih diam di tempatnya. Ia mendengus kecewa. Padahal ia sempat berharap kalau ketiganya akan mengajaknya ikut serta kali ini. Namun ternyata tidak. Mereka masih membencinya.

"Lo gak ke kantin?"

Lamunan gadis itu seketika terpecah. El menoleh ke sumber suara. Ia melihat Aslan yang baru masuk ke kelas. "Seperti yang lo liat. Dari tadi gue gak keluar kelas."

Cowok itu melangkah ke bangkunya, lantas duduk di sana. Ia meletakkan beberapa buku soal yang diberikan Bu Suci. Cowok itu baru kembali dari perpustakaan. Mengambil buku-buku sebagai bahan tambahan belajar. Setelah ini ia berencana untuk menyusul ketiga temannya ke kantin. "Lo masih takut?" tanya Aslan.

"Bukan takut, gue cuma gak mau ganggu pemandangan mereka aja," jawab El santai. "Lo tau, kan, kalau anak-anak sekolah ini ngeliat gue kayak ngeliat pembunuh atau narapidana. Kayak gue gak pantas aja gitu ada di atas bumi ini. Jadi mending gue mengasingkan diri aja."

Aslan mendengkus pelan. Apa yang El bilang memang tidak bisa ia sangkal, namun menurutnya yang dilakukan El itu tidak benar juga. "Lo tau? Kalau lo terlalu sabar kayak gini, gue jadi kangen sifat lo yang dulu. Gue lebih suka El yang main labrak dan gak bisa diinjak-injak," ujarnya jujur.

Ucapannya membuat El terdiam sejenak. Ia menatap Aslan dengan tatapan menyelidik. Apa yang barusan cowok itu bilang? Apa ia yang salah dengar? "Lo cuma belum terbiasa aja sama gue yang sekarang. Gue bukannya terlalu sabar. Gue cuma melakukan apa yang gue bilang kemarin. Mereka boleh ngehina gue. Dan gue bakal diam sampai gue bisa buktikan kalau gue gak salah."

Aslan melirik gadis itu, lantas mengembuskan napas. Baiklah, terserah. Dia juga tidak mau ikut campur terlalu dalam. Tak lama kemudian ia bangkit dari tempat duduknya. Berhenti melangkah sejenak di depan meja El. "Lo mau nitip sesuatu? Makanan atau minuman apa gitu. Nanti gue beliin."

Tawaran itu membuat El membulatkan matanya. Keningnya sedikit mengerut. Ia yakin sekali kalau ia mendengar dengan jelas ucapan Aslan tadi. Kalimat itu benar-benar keluar dari mulutnya. "Dalam rangka apa, nih, lo mau bantuin gue?" selidik El.

"Gue cuma gak mau lo laper. Kalau lo gak mau, ya, udah." Aslan berdeham. Bersiap pergi dari sana kalau seandainya El tidak kembali bersuara.

"Lo kenapa, sih, Slan? Tingkah lo, kok, belakangan ini agak aneh?" Mendengar itu Aslan mengernyitkan dahi.

"Aneh gimana maksud lo?"

"Ya, aneh. Lo tiba-tiba baik sama gue. Memangnya kenapa?" Suara El terdengar bergetar. Ada keraguan di dalam nadanya. "Apa karena gue cerita tentang masa kecil gue?"

Aslan terdiam. Ia tampak memilih kalimat yang tepat untuk menjelaskannya pada El. Saat ia ingin bersuara, tiba-tiba El berkata sambil menunduk, "Asal lo tau, gue gak suka dikasihani. Jadi gue tanya, lo baik sama gue bukan karena lo kasian sama gue, kan?"

Aslan menghela napas. Ia tidak bisa mengatakannya sekarang. "Waktu istirahat udah mau habis. Nanti gue beliin roti buat lo."

Cowok itu segera meninggalkan kelas. Membuat El hanya bisa menatapnya dengan tatapan penasaran. Tanpa menyadari kalau jantungnya berdetak cepat sejak Aslan berbicara padanya.

Dia tidak pernah menyadari hal itu akan terjadi. Bukankah dia dan Aslan adalah musuh bebuyutan sebelumnya? Maksudnya, bukankah dia yang menabuh genderang permusuhan karena masalah sepele dan semua kelakuannya yang menyebalkan membuat Aslan membencinya? Tapi hari ini, di saat semua orang membencinya, menjauhinya agar tak terkena masalah, Aslan justru masih setia di sampingnya. Bahkan dia yang pertama mengulurkan tangan untuk membantunya.

- Kita & Luka -

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now