Yang Aku Harapkan Selama Ini

65 13 0
                                    

Ketiga remaja itu menunggu kabar dari Aslan dengan perasaa gelisah. Ini jadwal sidang ketiga yang dilaksanakan setelah dua sidang sebelumnya tidak dihadiri oleh yang bersangkutan, Qonita dan Juan.

El sejak tadi mondar-mandir tidak jelas. Merasa gusar. Ia tentu tidak mau kalau sampai hak asuh Aslan jatuh ke tangan Juan. Ia tidak mau jauh dari cowok itu.

Ia akui, ia mulai menyukai Aslan. Setelah semua yang mereka sudah lewati, El menyadari kalau ia mulai menaruh hati pada cowok dingin itu.

Ya allah, apakah aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi? Aku belum siap untuk berpisah dengannya. Rasanya baru kemarin aku berdebat dan curhat kepadanya. Tak bolehkah ia tetap berada di sampingku untuk beberapa waktu? Atau kalau mungkin selamanya?

- Eliza -

"Tidak ada kabar, ya, dari Bu Qonita dan Pak Juan?"

Bukan sekali Aslan mendengar kalimat itu, berkali-kali malah. Ini bahkan sudah ketiga kalinya dia datang ke pengadilan dengan alasan yang sama. Namun orangtuanya belum nampak juga batang hidungnya.

Beberapa anggota keluarga yang awalnya datang, perlahan memilih diam di rumah saja. Menunggu hasil sidang dari yang lain.

"Apa Pak Juan mencabut gugatannya? Berarti mereka tidak jadi bercerai?"

Om Rusdi bangkit dari tempat duduknya. "Kita kembali saja lagi, Aslan. Adik kamu sudah menunggu di rumah sakit."

Aslan menurut. Mereka kembali tanpa hasil lagi untuk ketiga kalinya. Entah apa yang orangtuanya pikirkan. Hingga berkali-kali tidak datang ke sidang.

Dia berjalan masuk sendiri ke rumah sakit. Om Rusdi ada urusan lain yang tak kalah mendesak.

Di tengah kekalutannya, Aslan mendorong pintu kamar seraya mengucap salam. Dan tidak menduga kalau ada banyak suara menjawab salamnya.

Aslan tidak tahu mau bereaksi apa kali ini. Entah marah, kecewa, atau apa pun. Dua orang yang tidak terendus kabarnya itu tiba-tiba muncul di kamar rawat inap Nathan. Berbincang hangat dan sesekali tertawa.

Dan mereka tidak tahu kalau Aslan membenci kebersamaan itu.

"Aslan keluar dulu. Maaf ganggu," ujar bocah itu sambil bersiap meninggalkan ruangan.

Juan yang melihat gerakannya langsung beranjak untuk menahan Aslan. "Jangan keluar."

Aslan menepis tangan ayahnya itu. "Nggak ada yang berhak mengatur Aslan."

"Saya berhak mengatur kamu." Rahang Juan mengeras. Dia menatap Aslan tajam. "Karena saya ayah kamu."

Anak laki-lakinya tersenyum sinis. "Sejak kapan?"

"Aslan!" Tidak tahan lagi dengan sikap cuek anak itu, Juan membentaknya. Membuat Aslan membuang mukanya.

"Kamu tidak tahu diri!" seru Juan dengan jari yang mengacung pada Aslan.

"Yang nggak tahu diri siapa?!" balas Aslan sarkas. Kalimatnya menusuk dalam hati Juan. Pria itu skakmat. "Aslan atau kalian?!"

Qonita menggigit bibir mendengar kalimat anak sulungnya. "Aslan, jangan begitu, Nak ..."

"Yang nggak tahu diri sebenarnya siapa?!" Nathan membisu nendengar suara Aslan yang bergetar. Wajah kakaknya datar, tidak mengekspresikan perasaan apa pun di dalam hatinya.

Juan memilih untuk diam. Mendengarkan semua kata-kata Aslan.

"Aslan gak pernah diperlakukan kayak Nathan dan Hanum! Dari dulu Aslan dipinggirkan! Aslan gak dipedulikan! Aslan selalu berada di belakang bayang-bayang Nathan dan Hanum! Kalau memang gak ada yang bisa sayang sama Aslan, kenapa Aslan harus ada di sini??!!" Tangannya bergetar sendiri mendengar kalimat itu. Tidak ada beban yang bisa ia simpan sendiri lagi. Biarkan saja Juan dan Qonita marah, dia tidak peduli. "Salah Aslan apa?! Kenapa harus Nathan yang diperhatikan?! Apa bedanya Aslan dan Nathan?! Harus banget, ya, Nathan yang dinomorsatukan?! Seakan Aslan nggak berarti sama sekali! Lupa apa kalau Aslan ada di antara kalian?!"

Pertahanannya pecah seketika. Perlahan, namun pasti, air matanya mengalir. Juan menatapnya datar. Tapi hatinya terluka.

"Sudah?"

"Menurut Papa?" Aslan berkata getir. Ini baru separuh dari isi hatinya selama ini.

"Kamu membenci Nathan?"

"Aslan gak pernah bisa benci siapa-siapa. Aslan udah ngelakuin semua yang Mama dan Papa suruh dari dulu. Aslan cuma mau diperlakukan sama kayak Nathan atau Hanum dulu ..."

Nathan masih menatap wajah Aslan yang basah akan air mata. Benar dugaannya, Aslan tidak akan semudah itu melupakan dendamnya. Proses yang ia lalui belum berakhir.

"Aslan, Mama dan Papa memutuskan untuk tidak bercerai," jelas Qonita hati-hati. "Kita akan tinggal di rumah lama. Masih ingat, kan? Ini semua demi kalian ..."

"Demi kalian atau demi Nathan?" Qonita mati kutu mendengar pertanyaan itu. "Kalau demi Nathan ..."

"Kamu gak akan pergi kemana-mana, Aslan." Juan berkata dingin. "Kamu akan tinggal bersama kami lagi."

"Terus nggak dianggap lagi?" Senyum getir Aslan seakan menjadi tamparan hebat bagi Juan. "Aslan lebih baik hidup sendiri kalau gitu."

Juan terduduk di kursi yang berada di dekatnya. Apalagi yang mau dia katakan? Dia tidak cukup lihai berdebat dengan Aslan. Anak sulungnya itu keras kepala. Tidak bisa dilawan.

Semua itu menurun dari dirinya. Harusnya dia sadar sejak awal. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, bukan? Dia yang mendidik Aslan terlalu keras, sehingga terbentuklah sifatnya yang keras kepala dan melawan pula.

Qonita hanya bisa terdiam sembari memegang tangan Nathan. Menunggu Juan kembali bersuara.

"Tidak ada yang lebih penting dari pada kamu, Aslan," kata Juan lirih. Kepala Aslan terangkat. "Bahkan Nathan sekalipun, tidak bisa mengalahkan pentingnya kamu di keluarga ini."

"Nggak usah bohong," tukas Aslan yang diikuti dengan dengusan jengkel.

"Kamu boleh tidak percaya. Karena itu memang tidak bisa terbukti hingga sekarang, kan?" Juan kembali berdiri. Melangkah perlahan ke arah Aslan yang sigap menghindar.

"Papa sudah menyadari semuanya. Semua yang lepas dari pandangan Papa selama ini. Kamu diberi tanggung jawab yang berat. Ditekan di setiap keadaan. Belajar keras, menjaga adik-adik kamu, tapi belum pernah mendapat 'apresiasi' sekalipun. Hanya diam saja. Meski dalam hati memberontak."

Aslan pura-pura tidak mendengar. "Itu yang membuat kamu istimewa, Aslan. Dan Papa akui Papa memang salah karena nggak pernah ngeliat kamu juga. Papa salah karena gak pernah ngebiarin kamu untuk lepas dari kekangan."

Dia tidak menjawab. Juan menghela napasnya, lantas memeluk Aslan. Membuat anak itu kaget. "Tidak ada yang membenci kamu, Aslan. Papa, Mama, Nathan, dan tentu saja Hanum, kami semua menyayangimu. Membutuhkan kamu. Kamu tidak terpinggirkan, kamu tidak pernah tidak berarti."

"Terserah kamu mau memaafkan atau tidak. Ini konsekuensi sebenarnya yang harus kami terima. Iya, kan?" Tubuh Aslan bergetar.

"Maaf," kata Aslan pelan.

"Kita semua salah, Slan. Maafkan Papa juga," kata Juan.

Qonita tersenyum, lantas berkata, "Selalu ada tempat buat kamu di keluarga ini, Aslan."

Nathan bisa melihat senyum kecil terlukis di wajah kakaknya. Terlihat berbeda dari senyumannya selama ini. Lebih berarti. Dan Nathan senang bisa melihat kakaknya seperti itu lagi, sejak kehilangan Hanum bertahun silam.

Sepertinya ini bukan pertama kali kakaknya kembali tersenyum tulus seperti itu. Selain Hanum, Nathan tahu ada orang lain yang bisa membuat Aslan seolah kehilangan beban yang ia tanggung.

Siapa lagi kalau bukan El?

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now