Ancaman

167 47 8
                                    

Pihak sekolah tidak bisa melepas siswa cerdas, tapi mendapat nilai C di sikap.

- Kita & Luka -

Ruangan yang paling El benci di sekolah ini hanya satu, ruang BK alias 'kerajaan'-nya Pak Bambang. Sudah sering dia keluar-masuk ruangan ini. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari terlambat masuk kelas, bolos, sampai bertengkar.

El mengintip sedikit ke dalam ruangan. Merutuk dalam hati karena selain Pak Bambang, ada orang lain yang ia tidak suka di sekolah ini. Yaitu Pak Narji, kepala sekolah di sini.

Astaga, hari ini berapa jam gue bakal diceramahin? batin El kesal sambil menepuk jidatnya.

Mau kabur, nanggung udah berdiri di depan ruangan. Mau masuk, nanti malah diceramahin lima jam.

Pak Bambang menoleh pada El. "Masuk, El. Ngapain kamu berdiri di situ?" titahnya. El tersadar dari lamunannya, lalu segera masuk. Ia berjalan menuju kursi di depan meja Pak Bambang dan duduk di sana.

Pak Narji menatapnya dengan sorot mata bosan. "Haduh, kamu lagi kamu lagi. El, kamu itu gak bosen apa buat masalah terus? Kamu itu hampir tiap hari, lho, masuk BK!" Sama seperti Pak Bambang, Pak Narji mengomel kesal padanya. El hanya bisa mengembuskan napas sambil menulikan pendengarannya. Malas mendengar omelan Pak Narji.

Pak Bambang menahan sebentar Pak Narji yang sudah siap bicara lagi. "Baik, El. Terima kasih sudah datang. Kita mulai dari pembahasan ringan. Kamu sudah bertemu anak baru kelas 11 IPA-1, kan?"

Anak baru? Pikiran El langsung dipenuhi bayangan laki-laki tadi. Apa mungkin dia yang dimaksud? Cowok nyebelin tadi? "Cowok yang ngomong sama saya di belakang tadi, Pak?" tanya El ragu.

"Iya, dia. Karena ini masih awal semester, kita mulai dengan hukuman ringan saja. Kamu ajak dia keliling sekolah pas istirahat nanti. Biar dia cepat beradaptasi di sini," ujar Pak Bambang, tanpa memedulikan embel-embel 'nyebelin' yang El sematkan pada cowok itu. "Ini hukuman sekaligus amanah. Kalau saya tidak lihat kamu ajak dia berkeliling, hukuman kamu pindah jadi membersihkan kamar mandi. Paham?"

"Oh, paham, Pak. gampang itu, Pak. Nanti saja ajak anaknya." Kirain apaan, ternyata cuma disuruh ngajak tur, doang.

"Nah, bagus. Sekarang, saya dan Pak Narji mau membicarakan soal olimpiade yang akan dilaksanakan bulan depan."

Mendengar itu, El refleks menegakkan tubuhnya. "Siap, Pak. Saya siap buat ikut olimpiade itu. Kapan kita mulai pelatihan olimpiade lagi?" tanya El dengan nada bersemangat. Mungkin dia nakal dan suka mengabaikan peraturan, tapi untuk urusan pelajaran, El sama sekali tidak bisa diremehkan.

"Itu masalahnya, El," timpal Pak Narji. "Saya dan Pak Bambang sudah mempertimbangkan. Sepertinya di olimpiade-olimpiade selanjutnya kamu tidak bisa ikut serta."

El mengerutkan kening. Jelas dia tidak terima. "Pak, sejak kelas sepuluh, saya yang paling banyak menyumbang piala untuk sekolah ini. Jadi mana mungkin saya tidak diperbolehkan untuk ikut serta? Bapak mau sekolah ini kalah?" balas El sengit.

"Kamu sudah lihat nilai kamu semester lalu?" Wajah sengit El mendadak sirna. Dia terdiam mendengar pertanyaan itu. Jangankan nilainya, melihat buku rapornya saja dia enggan. "Nilai kamu semester lalu tidak sempurna. Banyak nilai merah. Apalagi para guru juga melapor kalau kelakuan kamu makin tidak terkendali. Itu yang membuat kami sulit melepas kamu untuk mengikuti olimpiade lain."

"Oke, kalau soal nilai, saya minta maaf. Tapi, Pak, ini, kan, olimpiade. Tidak ada hubungannya dengan kelakuan saya selama ini," protes El lagi.

Pak Bambang menghela napas. "Tentu ada hubungannya. Cerdas saja tidak pernah cukup, El. Kamu harus memperbaiki kelakuan dan sikap kamu. Pihak sekolah tidak bisa melepas siswa yang katanya cerdas, tapi mendapat nilai C di sikap," tegas laki-laki itu. Ia kemudian menambahkan, "Kalau kamu memang cerdas, harusnya kamu bisa menunjukkan kalau sikap kamu bisa setara dengan otak kamu."

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang