Hati yang Retak

97 26 8
                                    

Surat pemanggilan orangtua yang dititipkan lewat Haziq sekarang berada di tangan Oma Melati. Wanita itu melihat-lihat surat tersebut sebentar. Menatap datar cucu semata wayangnya. Bukan pertama kali beliau menerima surat semacam ini, tapi ini pertama kalinya beliau melihat kasus yang berbeda. Bukan perihal menjaili guru atau bertengkar.

"Oma gak tahu mau ngomong apa, Eliza," sahut Oma Melati sembari meletakkan surat tersebut di meja. Membiarkan El terdiam menunggu kalimat lanjutannya. "Selama dua pekan kamu diperbolehkan mencari bukti dan saksi bahwa kamu tidak bersalah. Tapi, yang jelas, Oma mau dengar pembelaan kamu sebelum disidang pekan depan."

"Itu semua bukan punya El, Oma. El gak pernah beli-beli yang kayak gitu," kata El.

"Terus kenapa semua itu bisa ada di laci kamu?" Oma Melati bertanya skeptis.

"El gak tahu, Oma. Lagian kejadiannya waktu El ikut olimpiade."

Oma Melati menghela napas. Apa yang bisa ia lakukan kalau sudah seperti ini? Apa yang mau ia katakan lagi?

"El tahu nggak ada yang percaya lagi setelah kejadian ini. Nanti El juga bakal disidang sama teman-teman OSIS. Tapi El berani bersumpah kalau itu semua bukan barang-barang El." Suara El terdengar bergetar.

Oma Melati mengangguk. "Oma percaya. Oma hanya ingin mengingatkan, apa pun hasil sidangnya nanti, itu semua asalnya dari Allah. Lewati semuanya dengan ikhlas dan terus berdoa. Kalau kamu berbohong sekarang dan terbukti bersalah, Oma terpaksa lepas tangan. Oma gak sanggup mengurus kamu lagi."

El tertegun, lantas mengangguk. "Iya, Oma."

"Ya, sudah. Balik ke kamar sana." El menenggak ludah mendengar perintah itu. Patah-patah ia mengangguk dan berjalan menuju tangga. Melangkah gontai sambil menatap ke bawah. Tidak sadar kalau di dekat tangga ada Haziq dan Fathia yang sedang menunggunya.

El mengangkat kepala. Terkejut ketika menemukan kedua temannya. Ia ingin sekali meminta tolong pada mereka. Pasti kalau mereka membantunya, masalah ini akan cepat selesai.

Namun, sebelum ia bersuara Haziq lebih dulu menghela napas dan meninggalkan mereka. Pandangan El dengan cepat beralih pada Fathia. Ia harus minta maaf dulu pada gadis itu. "Fat, aku minta maaf."

Fathia menatap El dengan sorot mata sendu. Senyum tipis terlukis di wajahnya. "El, maaf. Kasih aku waktu sampai benar-benar bisa memaafkan kamu, ya?"

Kalimat itu sukses membuat El tercekat. Ia menatap Fathia tidak percaya. Ia ingin sekali menahan gadis itu, namun Fathia berkata, "Aku mau tidur di kamar adik-adik. Aku gak mau ganggu kamu dulu."

Usai mengatakannya, Fathia buru-buru pergi dari hadapan El. Meninggalkan gadis itu yang sedang diselimuti rasa kecewa.

- Fathia -

Hari-hari berikutnya benar-benar terasa seperti neraka bagi El. Seluruh sekolah sibuk menghina, menggunjing, dan mencacinya. Seluruh mata menatapnya dengan sorot mata tidak suka. Seolah menolak kehadiran El di sini.

Ucapan Karin tempo hari terbukti. Teman-temannya sama sekali tidak menghampiri gadis itu. Berkumpul bertiga tanpa dirinya. Bahkan saat berpapasaan Karin dan Nafisa kompak melengos. Menolak menatap wajahnya.

Ia sadar kalau ia salah. Tapi haruskah ia menerima hukuman seperti ini?

Tidak ada lagi sahabatnya yang mendukung. Ia benar-benar menjalani semuanya sendiri.

El bahkan tidak pernah berani keluar dari keras hanya untuk sekedar ke kantin. Trauma dengan tatapan menusuk dari murid-murid lain. Ia hanya berdiam diri di kelas sambil mencoret-coret bagian belakang buku tulisnya untuk menghilangkan bosan.

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now