Satu Hari Untuk Memaafkan

60 15 0
                                    


"Kalian udah di mana, El?" Terdengar suara Oma Melati dari telepon.

"Udah di depan, kok, Oma. Pokoknya bentar lagi El sama Rendy masuk, kok. Oam ngemil-ngemil aja dulu. Tunggu cucu tercantik Oma datang," sahut El sambil tertawa pelan setelahnya.

"Iya, deh. Cepet, ya. Assalamu'alaikum," ujar Oma Melati. Beliau langsung memutuskan sambungan telepon. Membuat El hanya bisa mengomel kesal dalam hati.

Hari ini El, ditemani oleh Rendy, memberanikan diri untuk datang ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Sejak Zia masuk rumah sakit, hanya Oma Melati yang rutin menjenguknya. Memberi dukungan pada putrinya itu mengingat statusnya sebagai seorang ibu.

Beberapa perawat di sana menyambutnya dengan baik. Bersedia mengantarkan gadis itu ke kamar ibunya. El menghela napas melihat keadaan pasien rumah sakit jiwa ini. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ia ingat saat terakhir berkunjung ke sini.

Pertama dan terakhir kali El datang ke sini adalah saat kelas empat bersama Opa Dannis. Dengan senyum mengembang khas anak-anak dan sedikit keberanian, El menyapa ibunya. Tidak disangka, Zia justru melompat dari dipannya dan nyaris memukul El. Tentu saja gadis itu menangis karena kaget.

El tidak pernah lagi pergi ke sana setelah itu. Ia selalu kabur setiap kali diajak.

Takut, itu yang ia rasakan selama ini. Sepi, kata yang paling sempurna untuk mendeskripsikan hatinya tanpa dua sosok yang ia rindukan.

"El?" Rendy tersenyum ketika El sadar dari lamunannya. Ia berpikir kalau El ragu untuk bertemu dengan ibunya. "Ini kamar Tante Zia. Kamu mau masuk duluan atau gue temenin?"

El bergegas menggeleng "Gue duluan, nanti lo sama Oma nyusul." Perawat tadi mengangguk dan meninggalkan El di depan kamar. Dari luar ia bisa meliat Oma Melati tengah mengobrol bersama seorang wanita yang El yakini sebagai ibunya.

Oma Melati yang tengah asyik berbincang menoleh ke jendela kamar. Lantas mengobrol sebentar dengan wanita itu sebelum akhirnya bangkit dan pergi dari sana. Melihat El yang berdiri ragu sambil mengembangkan senyum tipis di sana. Beliau tahu El tidak nyaman berada di sini.

"Oma bakal kasih kamu waktu satu hari untuk bersama dengan Mama kamu." Gadis itu terkesiap mendengarnya. "Oma harap, kamu bisa membuka pintu maaf untuk orang paling berarti di dalam hidup kamu."

Oma Melati tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan El. Gadis itu menghela napas, lantas ragu-ragu masuk ke kamar.

Ia meliha ibunya tampak diam saja. Sama sekali tidak menyambut kedatangannya. El pun memberanikan diri untuk menyapa, "Apa kabar, Ma?"

"Alhamdulillah, baik. Kamu gimana kabarnya?" Zia bertanya balik.

"Alhamdulillah, baik juga. El dateng ke sini sama Rendy. Mama ingat, kan?" Ketika El berkata demikian, dia bisa melihat ekspresi mamanya berubah. Wajahnya menjadi lebih pucat.

"Re-Rendy?"

El mengangguk lemah, lalu berkata pahit, "Iya, itu Rendy. Abang El, satu bapak, lain ibu. Dia ke sini mau minta maaf sama Mama."

Hening. Baik Zia dan El kehilangan kata-kata untuk memulai percakapan selanjutnya. Dalam hati Zia ingin sekali memeluk putri semata wayangnya ini. Selama dia di sini, hanya bayang-bayang El yang memenuhi benaknya. Ia rindu sekali dengan gadis itu. Gadis kecil yang selalu menemaninya dulu dan memberi dukungan secara tidak langsung lewat senyuman manis atau tingkah-tingkah menggemaskannya.

Tapi ketika melihat El kembali kini, entah kenapa ia merada amat bersalah. El sudah semakin dewasa. Yang mmebuat Zia menyesal adalah tidak adanya sosok Zia menemani El sampai bisa sebesar ini/ El tumbuh tanpa kehadiran dan kasih sayang orangtuanya. Membuat wanita itu merasa gagal sebagai seorang ibu.

Kita & Luka {Tamat}Where stories live. Discover now