Kehilangan Sahabat

91 22 6
                                    

"Gue gak salah apa-apa. Kenapa gue yang dipojokin?!" seru El sembari mengacak rambutnya gusar. Masih tidak terima dengan tuduhan Calline dan murid-murid lain. "Apa-apaan, sih, mereka? Gue gak ngelakuin apa-apa, mereka malah marah-marah kayak kesetanan!"

Sementara ketiga temannya tidak merespons apa-apa. Memilih untuk mengunci mulutnya masing-masing. Mereka sengaja mengunci pintu kelas agar El bisa menenangkan diri di sini. Tapi di luar dugaan mereka, El malah marah-marah karena tidak terima dengan kemarahan murid-murid lain.

Melihat teman-temannya tidak merespons, El kembali mengoceh, "Gue kurang baik apa sama mereka? Kenapa mereka tiba-tiba kayak gitu? Kalau nggak suka sama gue, kenapa gak bilang langsung? Harus banget ada yang mojokin gue dulu biar mereka bisa marah-marah gitu? Bikin bad mood aja."

"Mereka bilang gue bermasalah? Emang. Terus kenapa? Apa hak mereka menghakimi gue? Gue suka dengan gue yang kayak gini. Kenapa mereka yang ribut?" tanya El dengan nada meremehkan.

"Pasti ini gara-gara Calline. Tuh, cewek emang gak pernah bisa liat gue hidup tenang! Pasti dia yang ngehasut satu sekolah biar benci sama gue! Dasar cewek ular! Gue pengen terlihat paling bener? Pamer popularitas? Pengen diakui? Cih! Sejak kapan?! Dianya aja yang gak bisa liat gue seneng!"

El sibuk melontarkan kata-kata pedas pada Calline. Emosinya sudah memuncak. Jika di lapangan tadi ia mendadak tidak bisa melakukan apa-apa, maka di sinilah ia mengeluarkan emosinya. Membiarkan segala cacian yang ditujukan pada Calline meluncur keluar dari mulutnya. Tidak peduli dengan tatapan ketiga temannya yang merasa terganggu karena El mulai keterlaluan.

Karin menggigit bibir. Matanya terpejam sesaat. Semua cacian dan celotehan El benar-benar mengganggunya. Ia sudah tidak tahan. Ia tidak bisa lagi terus berada di kubu El. Membiarkan gadis itu mencaci seenak jidatnya. Membiarkan gadis itu terus merasa benar dan didukung. Tanpa disangka ia bangkit dan menggebrak meja di depan mereka. Membuat ketiga temannya terkejut dan menatapnya.

"Lo kenapa, sih, Rin?" tanya El heran.

"Lo yang kenapa?!"

Balasan Karin membuat mereka terkejut bukan main. Nafisa takut-takut menyentuh tangan gadis itu. "Rin, kamu gak apa-apa, kan?"

"Diem, Sa! Gue udah muak!"

Nafisa tercekat dan menjauhkan tangannya dari Karin.

"Satu kelemahan lo yang bikin semua orang benci sama lo, lo sama sekali nggak bisa dikritik!" seru Karin. Ucapannya membuat El lagi-lagi terdiam. Ia menahan napas melihat wajah Karin yang merah padam.

"Rin ..."

"Lo selalu ngerasa diri lo lebih baik dari yang lain sampai lo selalu ingin dipandang hebat, selalu ingin diperhatikan, dan itu yang bikin lo dibenci sama banyak orang!"

El mulai terpancing. "Gue gak kayak gitu!"

"Iya, lo bilang nggak karena lo emang gak sadar diri! Sikap lo udah bikin semua orang muak, El! Sikap lo udah bikin gue, Nafisa, dan Fathia muak!" seru Karin sambil menatap tajam ke arah El.

Ia mendengkus. "Lo pasti juga gak sadar, kan, kalau gara-gara lo, Fathia jadi bahan bully Calline dan temen-temennya?!"

El terkejut mendengarnya. Begitupun Fathia dan Nafisa. Mereka tidak menyangka Karin akan mengungkit hal itu.

"Se ... serius?"

"Lo pikir gue mau bercanda di saat-saat seperti ini?! Lo pikir Fathia sering ngilang itu karena dia selalu sibuk dengan urusan Rohis? Nggak! Fathia di-bully sama gengnya Calline! Kenapa lo nanya? Bukannya lo memang gak peduli sama temen lo sendiri dan selalu sibuk nyari cara agar semua orang memperhatikan lo?!" Seruan pedas membuat hati El terasa perih. Kalau Calline yang bicara, mungkin ia rela. Tapi kali ini Karin yang bicara, sahabat yang selalu membelanya.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang