Chapter 16

47.1K 4.1K 712
                                    

Vote and comment please.
BGM : Bishop Briggs - Never Tear Us Apart
(Soundtrack of : Fifty Shades Freed)
***

Sean terkenal dengan raut wajahnya yang selalu tanpa ekpresi.

Dokter itu, jarang sekali—hampir tidak pernah menunjukan suasana hatinya, tidak peduli mau sebahagia atau seburuk apapun hari yang telah menimpahnya dari semenjak kuliah.

Dia tidak pernah berlebihan, karena itu tatapan dingin dan acuh sudah sering terlihat di wajahnya.

Nyaris menjadi identitas, Sean tanpa wajahnya yang tidak pedulian seperti satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan apapun alasannya.

Tapi lima hari belakangan, satu rumah sakit dikejutkan dengan raut sinis pria itu yang semakin menjadi-jadi. Ekpresinya dingin, tatapannya menusuk dan dia terlihat seperti akan murka pada semua orang karena hari-harinya sangat sulit untuk dilalui.

Jadwal operasi yang menumpuk, tambahan pasien rujukan dari beberapa klinik, rapat dewan, permasalahan internal rumah sakit, serta jadwal seorang dokter cuti melahirkan yang minta digantikan untuk mengajar anak koas.

Sean melakukan semua pekerjaan itu dengan baik—seperti biasa, tanpa mengeluh. Hanya saja, dia selalu menunjukan raut wajah tidak suka setiap kali semua orang mulai berbicara padanya.

Meski begitu, dia tidak bisa menyembunyikan raut kelelahannya.

Sean sudah berada di rumah sakit sejak hari senin, dia tidak pulang sampai lima hari kemudian. Dia terus-menerus bekerja hingga tidak sempat tidur ataupun makan.

Dia bahkan mengabaikan semua orang yang memintanya untuk beristirahat dan memaksakan diri untuk tetap bekerja.

Sean sedang menuntut dirinya, memaksa seluruh tubuh dan pirkirannya agar segera kembali dalam batas yang sudah di pilihnya.

Lima hari lalu Aileen sudah menyatakan keinginannya untuk hidup, satu-satunya wanita yang dia inginkan untuk berada disisinya akhirnya memutuskan untuk hidup dan egois padanya.

Jadi seperti yang selama ini Sean inginkan... harusnya dia senang, harusnya dia bahagia.

Bukannya terus-menerus memikirkan orang lain, merusak konsentrasinya sendiri karena kejadian yang telah terjadi diantara mereka lalu merasa gelisah dan kesal tanpa alasan seperti sekarang.

"Sudah semua?"

Sean menghembuskan nafas. Setelah beberapa saat dan koas terakhir menyelesaikan pemeriksaannya, Sean mudur, sedikit menjauh dari ranjang pasien dan menulis laporan hasil pekerjaan koas hari ini.

Para koas serempak mengangguk, menjawab pertanyaan Sean dengan gumaman takut.

Sejak tadi pagi, wajah pria itu terus mengeluarkan aura memusuhi. Dia memberikan tatapan dingin yang membuat semua orang lebih memilih menghindarinya daripada menghadapinya dalam suasana hati yang setiap hari semakin memburuk.

"Baiklah."

Ketika Sean berbalik dan berencana untuk segera kembali ke ruangannya, atensinya tiba-tiba tertarik pada sosok yang tengah menatap ke arahnya dari balik kaca penghubung ruang rawat inap.

Sean terkejut, tidak bisa mengatakan apapun dengan tubuh yang mendadak terhenti dan kemampuan untuk mengendalikan diri yang berantakan. Dia menatap wanita di balik kaca itu lekat.

Ada rasa lega yang luar biasa besar menghantamnya seperti godam, menyadarkannya kuat-kuat seolah memang itulah yang dia nanti-nantikan selama lima hari belakangan.

Dia mengumpat, mencoba mengembalikan akal sehatnya. Namun alih-alih berhasil, Sean justru tanpa sadar berbisik, masih tidak percaya, dia mencoba menkonfirmasi pada dirinya sendiri bahwa kehadiran wanita itu bukanlah bagian dari halusinasi bodohnya.

at: 12amWhere stories live. Discover now