III - Aku Punya Batas Kesabaran

8K 690 13
                                    

Perkelahian antara aku dan Fachry berlangsung dengan sangat memukau. Wajah kami sudah penuh dengan luka lebam. Tapi, aku masih belum puas. Aku sudah muak dengan perlakuan pria yang tak punya otak itu.

Ketika posisi kami sangat serius. Aku di atas dan Fachry di bawah, tanganku ditarik oleh seseorang. Hampir saja wajah Fachry kena pukulanku yang maha dahsyat. Kalau saja itu sempat, mungkin Fachry adalah orang kedua yang masuk rumah sakit setelah Harry.

Mataku menatap orang yang telah berani menarik tanganku itu. Dia adalah kak Mario. Dengan rahang tegasnya dan tatapan tajamnya ia menatapku dengan serius. Karena sudah terlalu emosi, aku tak takut. Aku melepaskan tangannya yang menarikku lalu berdiri dari atas Fachry.

"Tolong ajarin orang ini sopan santun!" ujarku ke kak Mario lalu meninggalkan keramaian itu.

Aku jalan dengan emosi yang masih menggebu-gebu. Gara-gara Fachry, jiwa kebrandalanku yang dulu muncul lagi. Sangat sulit aku ingin menghilangkan kebiasaan buruk itu. Manusia yang satu itu sudah diluar batas. Aku tak bisa bertoleransi lagi. Dia harus mendapat pelajaran.

Dari belakang aku mendengar ada orang memanggilku. Aku tau. Mereka adalah Jessie dan Emma. Suara langkah mereka semakin dekat dan kini mereka sudah jalan bersamaan denganku. Aku tak menggubrisnya. Aku tetap pada langkahku sampai ke mana nanti aku berhenti. Aku pun bingung mau kemana.

Kini kami tengah berada di dalam kelas. Jam pelajaran sedang berlangsung. Aku mengikuti pelajaran dengan kondisi wajahku yang hancur lebur. Tadi sudah diobati Jessie dan Emma. Ya, walaupun cuma diobati dengan alkohol dan obat merah dan plester. Rasanya sudah baikan. Yang aku khawatirin saat ini adalah cara menutupi ini dari papa dan popi. Bisa-bisa mampus aku nanti kalau mereka tau.

"Razka Faris Asgard!" panggil seorang guru yang tiba-tiba masuk ke dalam kelas. Dia adalah Bu Mia. Guru konseling yang terkenal baik. Dan ini pertama kalinya aku berurusan dengannya. Pertama kalinya berurusan karena berantem. Sebelum-sebelumnya berurusan karena bolos. Hehe.

Aku langsung berdiri lalu mengikut Bu Mia meninggalkan kelas. Kami menuju ruang konseling yang jaraknya gak bergitu jauh dari kelasku.

Sampai di ruang konseling, aku terkejut ada manusia bangsat di sana. Tatapanku yang tadinya bersahabat kini sudah tak bersahabat. Bu Mia menyuruhku duduk di sampingnya. Sesekali aku menoleh ke Fachry dan aku mendapati dia yang menatap ku.

"Razka," panggil Bu Mia.

"Yes?"

"Ini kesekian kalinya kamu masuk ruangan ini, kamu tidak bosan?" tanya bu Mia.

Aku tak menjawab. Aku hanya menundukkan kepalaku. Menyembunyikan pandanganku ke sela-sela kakiku.

"Orang tua kamu juga sudah beberapa kali datang kesini, karena ulah kamu. Kamu tidak kasihan?"

Lagi-lagi aku tidak menjawab. Aku memilih untuk diam. Bu Mia tau kondisi keluargaku. Dia mengerti.

"Jangan berulah lah Razka! Kamu ini sudah 16 tahun. Bahkan mau 17 tahun. Kamu udah mau dewasa! Tinggalin sifat kekanak-kanakan kamu!"

"I..I...I'm sorry miss," ujarku.

"Kenapa kamu menghajar Fachry? Dia sedang mencatat nama-nama yang akan mendaftar ke klub pecinta alam, kamu tiba-tiba memukulnya!"

Apa?

Aku tiba-tiba memukulnya?

Kebohongan apa ini?

Aku yang tadinya tertunduk langsung mengangkat kepalaku menatap Bu Mia dan Fachry bergantian.

"Bukan Razka bu yang duluan."

"Siapa lagi? Dari semua bukti bilang kamu yang duluan menghajarnya."

Iya, benar. Aku yang duluan menghajarnya. Tapi kan gak mungkin aku langsung menghajarnya tanpa ada sebab?

"Dia sudah menghinaku bu!"

"Kenapa kamu menghajarnya?"

"Bu dia-"

"Kamu seharusnya tak menghajarnya."

"Dia-"

"Apa kamu gak tau perbuatan kamu itu sudah sangat kejam?"

"Tapi-"

"Kamu seperti anak-anak yang gak bisa mengontrol emosimu."

Omonganku terus dipotong oleh Bu Mia. Karena ketidak tahananku, aku memukul meja dengan sangat keras. Rahangku mengeras. Tanganku mengepal dengan sempurna. Bu Mia yang tadinya tengah berbicara, terdiam. Aku menatapnya serius.

"Dia menghinaku, menghina keluarga ku, dan bukan untuk pertama kalinya. Apa aku harus diam?" ujarku dengan nada penekanan. Aku menyadari mataku panas dan mulai berkaca-kaca.

"Apa aku harus diam saat dia bilang keluargaku gak normal? Apa aku harus diam saat dia seenak-enaknya menghina kedua orang tuaku, yang notabennya bukan sepasang laki-laki dan perempuan? Hah? Iya bu?"

"Ibu gak tau?" aku memukul-mukul dadaku berkali-kali. "Sakit bu!"

"Setiap hari aku harus mendengar omongan kotor orang gak tau diri ini tentang keluarga ku."

"Setiap hari bu! SETIAP HARI!"

"Awalnya aku diam. Dari kelas 1, aku diam. Karena apa? Aku diajari orang tuaku untuk bersikap sabar. Aku kuat karena mereka. Sampai sekarang, kesabaranku sudah habis bu. Aku udah gak tahan!"

Aku mengusap air mataku yang sudah membasahi pipiku. Emosiku masih ada. Aku masih tak bisa meredakan emosi ini.

"Kalau karena ini aku harus di skors, aku terima! Kalau boleh-" aku memotong ucapanku lalu menatap Fachry yang aku sadar sejak tadi tengah menatapku. "Aku keluar dari sekolah ini!"

Aku kembali menatap Bu Mia. "Permisi!" pamitku dengan Bu Mia.

Aku keluar dari ruang konseling dengan membanting pintu. Aku tak pernah bercanda dengan omonganku. Sikap Fachry yang selama ini kepadaku itu sangat membuat kehidupan sekolahku tak menyenangkan. Berkali-kali aku meminta ke papa untuk pindah sekolah, tapi papa tak mengabulkannya. Itulah mengapa aku sering bolos. Biar papa memindahkanku dari sekolah ini. Tapi, papa tetap saja tidak mengabulkannya.

Aku masuk kedalam kelas sambil membanting pintu. Semua orang dalam kelas terkejut. Termasuk Pak Jackson. Mereka menatapku. Aku jalan ke kursiku, mengambil tasku, lalu keluar tanpa menghiraukan mereka. Jessie dan Emma bertanya tapi aku tak menjawab.

Rasa lega menghampiriku. Akhirnya aku bisa melawan Fachry yang selama ini seenak jidat menghinaku. Menghina keluargaku. Aku gak bisa terima itu.

Dunia mungkin sedang bertepuk tangan melihat ulah ku hari ini. Keberanianku menimbulkan rasa lega yang tak berkesudahan. Aku menerima hukuman apa yang akan menimpaku nanti. Yang pasti, aku tidak takut dengan manusia yang bernama Fachry itu.

Aku tak pernah takut pada siapapun. Aku diam saat Fachry menghinaku bukan berarti aku takut. Tapi aku menghargai kedua orang tuaku. Karena itu aku diam. Tapi, sekarang, kesabaranku sudah hilang. Dia harus mendapatkan pelajaran. Tak tau pelajaran seperti apa yang nantinya akan di dapatkannya. Yang penting, aku sudah puas memukuli wajahnya.

Emosiku yang tadinya memuncak kini sudah mulai mereda. Aku duduk di taman sambil menikmati kopi susu yang aku pesan dari kantin. Pikiranku saat ini adalah mencari alasan biar papa dan popi gak marah. Dengan melihat wajahku yang seperti ini pasti membuat mereka marah besar.

Aku mengambil ponselku lalu membuka kamera. Melihat kondisi wajahku yang sangat tak baik. Banyak luka lebam. Bahkan, kening sebelah kiriku robek sedikit karena tadi tak sengaja mengenai meja tempat pendaftaran. Untungnya tadi sudah di obati sama Jessie dan Emma. Mereka menutupnya dengan plester.

Tiba-tiba, layar ponselku berubah dari kamera ke panggilan. Jantungku yang tadinya stabil kini sudah berantakan. Aku tak tau harus gimana. Mataku terus menatap layar.

Popi❤
Calling...

Dengan keberanian yang tinggi. Akupun mengangkat panggilan dari popi. Doakan aku.

•••••••••
4/30/20

Gatau kenapa, pengen cepat-cepat habisin cerita ini hahahahaha....

Love Me Like You Do ✔️Where stories live. Discover now