IV - I Love You Popi

7.8K 694 15
                                    

"Di mana?" tanya popi saat aku mengangkat panggilannya. Aku belum sempat mengucapkan pembukaan kayak halo atau semacamnya.

"Razka gakpapa pi."

"Popi tanya kamu di mana, bukan nanya kamu apa kabar!" nada popi sudah tak bersahabat. Habislah aku. Popi kalau sudah ngomel, satu dunia bisa tunduk ke dia. Papa aja gak berani melawan kalau popi sudah ngomel.

"Razka... Masih... Di sekolah pi."

Panggilannya berakhir. Aku dengan jantungku mulai was-was. Semua keadaan menjadi seram. Aku terbayang-bayang dengan wajah popi kalau lagi marah. Serem coy!!!!

15 menit kemudian, aku mendapati ponselku berdering lagi. Masih dengan orang yang sama. Aku pun dengan keberanian yang penuh mengangkat panggilannya.

"Popi di depan sekolah!"

"I... Iya Razka keluar sekarang."

Popi mematikan panggilannya. Aku pun langsung ke luar menemui popi.

Sampai di gerbang, aku melihat mobil merah milik popi di sana. Jantungku mulai tak karuan. Aku lebih memilih berhadapan dengan singa dibanding berhadapan dengan popi yang lagi marah. Gak bohong, ini serius.

Sekolah langsung menghubungi popi karena aku bermasalah di sekolah. Sepertinya papa dan popi langganan ditelpon sekolah. Karena, hampir tiap bulan popi dan papa mendapatkannya.

Aku mendekati mobil itu sambil berpikir cara menutupi wajahku yang lebam. Tapi percuma saja, gak bisa ditutupi.

Sampai di mobil, popi menurunkan kaca mobilnya. Ia menatapku dengan tatapan datarnya. Kemudian menyuruhku masuk ke dalan mobil. Akupun hanya bisa menurut saja.

"Halo popi," sapaku sok imut.

Setelah aku masuk mobil, popi langsung menginjak pedal gasnya meninggalkan area sekolah.

Diperjalanan menuju rumah, aku dan popi tak memiliki topik pembicaraan. Aku dengan segala kekhawatiranku hanya bisa terdiam. Sesekali aku melihat ke arah popi. Jantungku menjadi tidal karuan.

"Pi," panggil ku dengan keberanian yang penuh.

"..."

Tak ada jawab dari popi. Tatapannya tetap ke jalan raya yang lumayan ramai. Aku akui, wajah popi kali ini tegas. Aku bisa melihat jiwa kelaki-lakian popi saat ini. Setelah selama ini aku hanya melihat jiwa keibuan. Maaf pi, bercanda.

"Razka laper pi," ucapku random. Aku hanya berusaha mencairkan suasana.

"..."

Sama saja. Bagaimana pun, popi hanya diam. Kalau menurutku ada jawaban itu lebih enak. Kalau diam gini, siapa yang gak was-was coba?Tuhan, tolong aku. Aku takut popi bakal memakanku hidup-hidup.

Sekitar 15 menitan, akhirnya kami sampai di rumah. Popi memarkirkan mobilnya. Ia pun turun tanpa ada bicara sedikit pun. Aku yang bersamanya hanya ikut.

Kami masuk ke rumah. Popi meletakkan kuncinya di tempat gantungan kunci. Sementara aku mengikutinya dari belakang dengan mental yang kuat. Ayo Razka! Kamu bisa!

"Duduk!" suruh popi.

Aku menurutinya. Aku duduki sofa dengan penuh kehati-hatian. Popi berdiri sambil melipat tangannya di dada. Tatapannya, membuat aku ingin melarikan diri saja.

"Popi, Razka bisa jelasin, tapi jangan marah ya, please jangan marah ya. Janji?" ucapku jadinya. Jujur aku takut. Aku lebih takut liat popi marah dibanding berhadapan dengan preman-preman.

"Apa?" tanya popi.

"Janji dulu!" aku menaikkan jari kelingkingku.

"Iya!"

Love Me Like You Do ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang