XXIV - Problem

4.9K 462 27
                                    

Untuk pertama kalinya aku merasakan hal ini. Tangan yang berurat itu, yang biasanya menggendongku saat aku masih kecil. Mengelus rambutku saat aku mengadu karena ejekan orang, dan tangan yang aku cium ketika pergi sekolah, kini sudah berbeda.

Susana rumah sudah sangat hening. Yang terdengar hanya suara papa mengisi seluruh sudut rumah. Aku tersungkur di lantai keramik berbahan granit ini sambil berusaha menahan sakit di pipiku. Tangan yang selama ini aku puji kini berhasil mendaratkannya ke wajahku dengan sangat kuat. Aku bahkan hampir menangis menahan rahangku yang aku rasa hampir patah. Di umurnya yang ke 44 tahun ini masih memiliki tenaga yang cukup kuat.

"KAMU MAU JADI PREMAN? HAH?!" Bentak papa. Popi yang hanya diam terus melihat kejadian ini tanpa ada niat membantu sedikitpun. Aku juga melihat kakek dan nenek yang hanya diam menatap kami berdua. Mereka tak ada satupun yang perduli.

"KALAU DIA MATI, KAMU MAU TANGGUNG JAWAB? HAH?!"

Aku memilih untuk diam. Aku gak tau mau mulai dari mana untuk pembelaan diri. Sepertinya aku pasrah. Kalau saja papa ingin membunuhku saat ini juga, aku terima. Aku sudah muak dengan perlakuan dunia yang tidak pernah adil denganku. Aku bahkan benci sama diriku sendiri.

"Diri kamu!"

Dengan polosnya aku menuruti pria berkemeja putih bergaris itu. Sementara aku masih mengenakan seragam yang memiliki bercak darah di beberapa bagiannya.

"Papa salah apa sama kamu Razka? Ada yang kurang? Bilang."

Aku menundukkan kepalaku. Kalau dalam situasi seperti ini, aku tak berani menatap mata papa. Itu sangat menakutkan.

"Kalau kamu mau jadi brandalan, sudah sana, keluar!" papa menunjuk ke arah pintu.

"Terserah kamu mau ngapain di sana, terserah! Kamu mau jadi preman, terserah, papa udah capek!" papa duduk di sofa. Dia menghela napas karena emosi yang tak tertahan sejak tadi. "Papa capek terus-terusan dipanggil ke ruang bk, gak di California, gak di sini, sifat kamu memang sama aja."

Aku masih terdiam di posisiku saat ini. Rasanya seperti duniaku sudah mulai menghitam. Tak ada seorang pun yang membelaku di sini. Aku memang anak yang gak dibutuhkan. Anak dari dua orang homo yang membuat duniaku jadi sangat menyakitkan. Aku benci kehidupan ini.

"SANA KELUAR!" bentak papa sekali lagi.

Aku yang masih tetap dengan pendirianku hanya diam. Tiba-tiba tangan papa menarik kerah bajuku dengan sangat kuat.

"TRISTAN!" kali ini, aku mendengar suara lain. Bukan membentakku, tapi membentak papa. Dia adalah popi.

"Apa? Kamu masih mau bela dia? Hah? Kalian berdua sama saja!"

"Apa? Maksud kamu apa?"

Aku melihat popi mulai mendekat. Tapi, papa dengan emosinya yang masih menggebu-gebu terus menarik kerah bajuku. Aku terseret beberapa meter karena tarikan papa yang sangat kuat.

"TRISTAN!" popi menarik tangan papa. Berusaha melepaskan tangan yang kuat itu dari kerah bajuku. Setelah tangan itu lepas, popi langsung memelukku. Aku bisa merasakan kelembutan dan kehangatan di pelukan pria ini.

"Kalau kamu mau bunuh dia, bunuh aku dulu!" ketus popi.

"Apa? Kamu udah gila? Kamu masih membela anak ini? Gak tau malu! Kamu mau jadi pembunuh? Hey!" papa mendorong kepalaku dan langsung ditepis oleh popi.

"JANGAN SENTUH ANAKKU!"

Aku menumpahkan tangisku di pelukan popi. Kami berdua sama-sama terduduk di lantai dengan keadaan saling berpelukan satu sama lain. Aku membasahi baju popi dengan air mataku yang terus mengalir.

Love Me Like You Do ✔️Where stories live. Discover now