𝕭𝖆𝖇 20

6.3K 1.9K 81
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bimasakti Wardhana," kata suara feminin itu dengan seringai lebar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bimasakti Wardhana," kata suara feminin itu dengan seringai lebar. "Aku adalah penggemar berat karya Ayahmu."

Ree dapat merasakan bayangan Bima menegang, perasaan muak dan takut bercampur akan perkataan itu. Wajah Bima pun tidak jauh berbeda, pucat pasi semenjak perempuan karet itu menyebut Ayahnya.

"Bisakah kau diam di situ, sayang?" Lanjut Si Perempuan Karet, "Sementara aku membereskan satu ini terlebih dahulu."

Frida menyentakkan tangan karetnya ke depan, menuju danau itu. Si pria yang ia bawa ikut terseret kemudian badannya terpental dari genggaman Frida. Tubuh pria itu berhenti hanya selangkah dari danau.

"T- tolong... aku..." rintih pria itu kepada Bima. 

Tubuh pria itu sudah babak belur. Banyak sayatan berwarna merah, lebam besar di pipi, dan dari letak kakinya yang aneh sepertinya kaki kanannya sudah patah.

Jarak mereka ditengahi oleh danau itu, namun Bima dapat mendengar jelas pintaan pria itu.

Rahang Bima mengeras. Ree, kita harus menolongnya.

Frida kali ini memanjangkan rambutnya menjadi dua sulur merah. Kedua sulur itu masing-masing melilit kedua tangan pria itu dan seketika, pria itu terangkat di udara.

"Aku punya p-putri di r-rumah..."

'Ree!' panggil Bima menggunakan saluran pikiran.

'Jangan bodoh, Bim. Ini adalah turnamen. Kita tidak bisa menolong semua orang.'

'Pasti ada yang bisa kita lakukan,' geram Bima dalam pikirannya.

'Relakan pria itu. Kita gunakan sisa waktu ini untuk membuat rencana.'

Kedua sulur rambut Frida meregangkan kedua tangan pria itu perlahan dan perlahan. Pria itu berteriak ketika tubuhnya ditarik dari kedua arah. Terlihat ia berusaha melawan tarikan Frida namun rambut perempuan itu sangatlah kuat. Pria itu justru berteriak lebih keras.

Ketika seseorang dalam keadaan terburuk mereka, pertahanan mental mereka melemah. Hingga Bima pun dapat membaca pikiran mereka tanpa perlu mengeluarkan usaha. Ia melihat padang bunga, seorang istri yang hamil besar, dan seorang putri yang baru berusia 3 tahun. Ia melihat gubuk tempat mereka tinggal dan paceklik yang menyerang panen mereka.

Turnamen Mentari | Seri 1 | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang