21. Affection

2.8K 327 147
                                    

"...ruka--"

"...Haruka--"

"Haruka!"

Haruka tersentak. Matanya terbuka dengan panik. Keningnya dipenuhi peluh. Keringat bahkan nyaris membasahi seluruh tubuhnya.

Usapan lembut dan menenangkan seolah membawa kembali kesadaran wanita itu. Dia mengerjap. Napasnya mulai teratur.

"Shinsuke..." Suaranya lirih. Wajah pucat itu kian membuat sosok di hadapannya diam, tangannya bergerak lembut mengusap pelan sisi wajah, menyingkirkan helai rambut yang juga basah oleh keringat sebelum akhirnya menarik tubuh si wanita dalam dekapannya.

"Sudah tidak apa-apa..." Suaranya jernih. Terdengar agak senyap, namun mendengarkan rasa damai dan ketenangan yang merambat cepat, menelusup hingga mencerai teror yang baru saja terasa.

Haruka mengerjap sebelum akhirnya, sepasang tangannya balik merengkuh sosok itu, erat. Napasnya sudah terdengar jauh lebih baik. Ekspresi wajahnya perlahan membaik. Dia... Sudah baik-baik saja.

Mereka tetap berada dalam posisi itu untuk beberapa saat. Si wanita menenangkan diri. Merasai ketenangan dan rasa aman luar biasa yang ditawarkan si pria padanya.

"Kau pulang lebih awal, Shinsuke?" Suaranya masih terdengar agak serak. Tenggorokannya terasa agak kering. Tidak heran jika mengingat dia memang sedang sakit.

"Hn," Jawaban itu berupa gumaman, namun gerakan lambat di atas kepalanya terasa menenangkan. Shinsuke membenamkan wajahnya di atas kepala sang istri. "Baa chan mengabariku kau sakit," Lanjutnya, pelan.

"Maaf," Dia berbisik, pelan. "Aku mengganggu pekerjaanmu, lagi."

Dekapan itu terlepas. Tapi nyaris tidak meninggalkan spasi antara keduanya. Shinsuke menatap sosok di hadapannya, lekat. Ada kelembutan pada sorot mata jernihnya. Saat tangan itu bergerak merapikan rambutnya yang berantakan, seulas senyum tercipta.

Senyum yang selalu menular bagi Haruka. Menyengatkan rasa tenang.

"Aku menyelesaikannya lebih cepat," Jawabnya, lugas. "Lagipula, bagaimana mungkin aku meninggalkan rumah terlalu lama saat kau sakit?"

Ya. Dia benar. Ini sudah lebih dari tiga bulan sejak pernikahan mereka. Banyak yang terjadi. Banyak sekali. Setidaknya, setelah menikahi Shinsuke, jadwal tidur Haruka mulai membaik. Dia bisa tidur lelap. Perlahan tapi pasti, jantung mata yang sejak dulu tidak bisa hilang itu mulai tidak terlihat. Nyaris hilang bahkan.

Tapi sayangnya, Haruka masih belum lepas dari teror masa kecilnya. Dan Shinsuke tidak bisa melakukan apa pun selain menenangkannya saat itu terjadi.

"Haruka," Dia memanggil namanya dengan suara itu. Terdengar lambat, namun penuh ketulusan. "Apa masih seburuk itu?"

Shinsuke jelas tahu. Haruka masih memimpikan teror masa kecilnya, meski tidak sering. Mimpi itu datang disaat tertentu. Saat Haruka sakit, atau saat Shinsuke tidak berada di dekatnya, meski itu sangat jarang. Lagipula, setelah menikah, Haruka justru sering menempeli nenek Shinsuke daripada suaminya. Haruka semanja itu pada sang nenek.

"Tidak seburuk dulu." Jawabnya, jujur. Dia menerima gelas yang diberikan Shinsuke padanya. Meneguk teh hangat itu, perlahan. Rasanya menenangkan. Tehnya juga enak. Pasti buatan baa chan. Begitu pikiran si wanita. "Shinsuke," Dia menatap suaminya dengan tatapan rumit.

"Hm?"

"Terima kasih karena tidak pernah memaksaku bicara," Katanya dengan suara pelan.

Shinsuke tersenyum tipis. Sebelah tangan itu terulur laku mendarat tepat di atas kepalanya. Mengusapnya lembut. Penuh perasaan. Senyumnya mendamaikan. Tidak pernah gagal membuat Haruka tenang dan merasa semua akan baik-baik saja.

RenjanaWhere stories live. Discover now