[ 5 ]

4.3K 474 72
                                    

"Punya gelas ukur nggak?"

"Gelas ukur? Yang kek apa?"

Tara penasaran, apa sih yang Rion tahu? "Itu, lho. Wadahnya bening, bahannya kaca, yang ada angkanya, ukurannya biasanya mili. Biasanya warna tulisannya merah atau nggak item," jabar Tara, masih sabar.

"O! Tekonya mama yang buat ngukur susu kalo bikin kue?" Tara menepuk jidatnya. Tara menahan emosi yang menggunung saat ini. Sabar-sabar. Cuma bisa mengelus dada kalau dekat-dekat Rion. Namun sebenarnya, tidak salah sih maksud Rion. Hanya saja, ya gitulah. Itu terlalu gede, Rion. Lagipula ini buat eksperimen, kalau pakai barang-barang mama bisa perang dunia nanti. "Sante bung, sante. Keknya, gue pernah lihat deh. Di mana ya?"

"Kalau ada yang plastik juga nggak apa-apa, lah. Yang penting buat ngukur." Rion ngeluyur pergi entah ke mana. Memang ya, sekelompok sama Rion itu butuh stok sabar luar biasa banyak.

"Nih." Rion meletakkannya di meja dengan pelan. Dia seperti habis dari toko dengan keranjang baju kotor. Tara saja melongo. Membawa begitu banyak gelas kimia. Padahal Tara cuma minta satu atau dua, tapi Rion membawa 6 labu Erlenmeyer dan 3 gelas reaksi berbagai ukuran, juga terdapat pengaduk kaca.

"Dapet dari mana?" Tara penasaran, sungguh.

"Ini? Koleksi bang Ubi. Kurang nggak? Masih ada tuh." Tara memberi kode bahwa itu semua sudah cukup, bahkan berlebihan. Padahal cuma untuk menakar cairan. Karena alat yang digunakan bisa dengan gelas plastik bekas.

"Rion! Ngapa lo berantakin kamar gue!" Suara seseorang dari lantai atas terdengar cukup keras.

Tara menatap Rion bertanya. Yang ditanya cuma mengedikkan bahunya. Acuh tak acuh. Astaga, abangnya teriak-teriak begitu. Pasti Rion bikin ulah dan si pelaku tak merasa punya dosa.

Ya, benar, Tara lebih baik bekerja sendiri. Rion? Cuma melihat apa yang Tara kerjakan. Menumpu dagunya pada lipatan tangan, sambil ngemil ubi kukus. Bagi Tara, Rion tidak merusuh praktikumnya saja sudah lebih dari cukup.

"Ini yang kerja siapa coba?"

"Brisik lo, Bang." Aubee sudah mengangkat kepalan tangannya, ingin segera menjitak kepala Adik satu-satunya itu. Namun, dia urungkan, takut tambah bego nanti. Siapa juga yang mau tanggung jawab? "Mau ke mana?" Melihat Abangnya memakai jaket dengan wangi semerbak pula, Rion jadi curiga.

"Main lah, emang lo doang yang boleh main?" Cemberut, Rion kesal. Ah! Mau ikut. Tapi kan tidak mungkin. Ada Tara di rumah. Masa mau ditinggal? Rion masih punya hati, dong.

"Bang, martabak dong, Bang," pinta Rion memelas.

"Inget, baru sembuh juga dari radang."

"Ahelah, pelit lo." Aubee tak menggubris. Dia mengambil kunci motornya. Iya, motor sport hitam milik Anvar yang hanya sesekali Aubee dan Rion gunakan. Kebanyakan Aubee, sih. Rion malas malah.

Tara diam-diam tersenyum. Entahlah, Aubee dan Rion itu hiburan. Membuat Tara begitu iri. "Kalian deket, ya?"

"Deket, sih. Tapi yang ada adu mulut. Kalo jauh bikin kangen. Au ah, ribet," cetus Rion tanpa emosi. Datar seperti rautnya.

Bibir Tara terangkat samar. "Tapi kok, gue nggak gitu, ya."

"Maksud lo?"

"Lupain." Rion menghela nafasnya. Menganggap masa bodoh obrolan mereka. Tapi, ternyata tidak dengan hatinya. Ada yang salah dari perkataan Tara tadi.

"Apa lo nggak sedekat itu sama Tora?" Tara bergeming. Lalu mengangkat wajahnya, menatap Rionyang sudah duduk sempurna, bersandar pada kaki sofa seraya bersidekap tangan. Tak seperti tadi.

Tora, kembaran Tara. Yang biasanya Rion panggil itu namanya Tora. Sekelas pula. Muka mereka terlihat bukan seperti orang Asia kebanyakan. Anak-anak juga menjuluki mereka bule kesasar masuk kampung. Karena mereka memang berdarah campuran. Mereka memiliki keturunan Inggris, Denmark, Jerman, dan Skotlandia. Warna rambut mereka juga pirang, hanya saja Tora mengubah warna rambutnya menjadi gelap dan iris mereka, sama-sama berwarna hijau. Sangat cantik, menurut Rion.

Keduanya kembar identik cowok, tetapi itu tidak berarti mereka adalah salinan satu sama lain. Tara memiliki tinggi 5 kaki 11 inci, sekitar 180 cm, sedangkan Tora 182 cm. Tara juga memiliki tahi lalat di atas bibirnya. Jadi mereka bisa dengan mudah dibedakan. Menurut pandangan Rion, mereka memang tak terlalu dekat. Malah seperti … saingan?

"Tahu lah." Tara meninggalkan obrolan. Memilih kembali melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai.

Rion menggigit bibirnya. Dia menatap gelas ukur yang tergeletak di atas meja. Mengingat kembali, seperti sebuah kolase. Bergabung jadi satu. Ingatannya mendadak kembali pada masa itu.

"Tar." Tumben, Rion menyebut namanya dengan benar, pikir Tara. "Tahu nggak? Seseorang akan lebih berarti, kalau dia udah nggak ada." Dahinya mengernyit, Tara menelengkan kepalanya, memikirkan apa yang Rion katakan barusan, sebelum Rion pergi ke dalam.

~~~~~

Hanya suara kecipak yang memenuhi indera pendengaran. Mencuci wajahnya gusar. Hingga hanya tersisa bunyi dari organ pipa yang mengalirkan air ke saluran pembuangan.

Meremat pinggiran wastafel itu kencang. Menatap bayangannya di cermin. Tak sengaja, menggigit kuat bibir dalamnya, hingga tercipta bau amis disana. Mencoba menenangkan pikirannya. Mendongak ke atas dan membuang nafas kasar.

"Tadi gue ngomong apa sih?"

Rasanya seperti baru kemarin. Rion tak mengerti, seperti melihat kembali waktu itu. Sebenarnya Rion hanya sedang cemas. Atau mungkin, dia takut menghadapi hal yang sama?

Menyambar handuk kecil dari gantungan. Lalu mengeringkan wajahnya, seraya keluar dari kamar mandi.

"Dek," panggil Misha saat melihat Rion. "Nanti, suruh temanmu makan malam disini, ya?" Rion cuma manggut-manggut.

Merasa ada yang tak beres dengan Rion. "Kamu nggak papa, Sayang?" Tangannya bergerak mengusap wajah putranya. Nampak berbeda dari sebelumnya.

"Aku baik kok, Ma."

"Yakin?" Lagi, Rion hanya memberi jawaban dengan menggerakkan kepalanya naik-turun. Misha memilih percayawalaupun hatinya berkata lain.

~~~~~

Praktikum kali ini membuat Tara puas dengan hasilnya. Rion mah, tak mau tahu. Intinya beres. Tinggal salin hasil. "Lo, dilarang pulang sama Mama."

"La terus?"

"Makan dulu, baru pulang."

"Baiklah." Tara tak mau kehilangan kesempatan. Anggap saja, menghargai Misha yang sudah capek-capek membuat masakan. Omong-omong dia memang lapar. Kalaupun pulang dia juga tidak akan makan. Lebih memilih menahannya sampai pagi.

Malam tiba, Anvar juga telah di rumah. Setelah mabar bareng Rion. Mereka sudah siap di meja makan. Seraya bercanda.

"Oiya, Bang Aubee belum pulang?"

"Oh, nggak perlu khawatir, Nak Tara. Aubee udah ngasih tahu, kok. Kalau dia makan di luar." Rion merutuk, dia juga ingin keluar, makan di luar. Namun, pasti dilarang sekolah saja sekarang dibekali. Sebal!

Suasana hangat tercipta disana. Tara merasa dia menjadi orang yang berbeda saat ini. Tak pernah merasakan bagaimana di perlakukan semacam ini. Benar-benar sebuah acara makan yang diharapkan dan menyenangkan. Kalau di rumah, yang ada hanya tekanan dan tekanan. Membuat siapapun tak akan nafsu untuk mengisi perut.

"Pertahankan nilaimu."

"Tingkatakan prestasi non-akademikmu."

"Perlukah ayah panggilkan tutor? Tora saja bisa, masa kamu nggak!"

Jenuh yang ada. Tidak ada topik lain. Tora? Dia seperti tidak ada masalah dengan itu. Dia menikmatinya. Semua tekanan diberikan pada Tara. Itu tak adil dan dia benci.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/07/13

Edited [9 Feb 2022]

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang