[ 28 ]

3.7K 441 53
                                    

Ini semua tak mudah. Harus menenggak 30 pil lebih dalam sehari, dipasangi nebulizer, dan mendapat suntikan antibiotik berulang kali. Tak lupa, fisioterapi, olahraga rutin, juga meditasi. Kegiatan ini terus berulang. Namun berhasial menjaga keadaan Rion tetap stabil.

Tak salah memang, segalanya melelahkan untuk Rion. Padahal baru beberapa hari. Ya, disisi lain, ada keuntungan dari itu. Dia bertemu dengan para CFer. Mereka kadang ngobrol, tentu saja dengan jarak aman, berbagi pengalaman pengobatan, bagi Rion yang masih awam tentu saja sangat berguna. Atau hal-hal konyol yang mereka lakukan di rs, untuk mengusir kebosanan dan hospital depression. Seperti mencari pacar disana.

Kamar rawat para pasien juga boleh diubah, sesuai dengan kamar di rumah atau kesukaan mereka. Agar mereka merasa bukan hidup di rumah sakit. Ya, memang, sedikit menambah sedikit estetis di dalam sana.

Aubee belum kembali, sekitar semingguan lagi disana dengan Dimas tentunya, biar Aubee tidak hilang. Mereka sering melakukan video call, yang ujungnya cuma berdebat saja.

"Udah nemu cewek belom?"

"Itu lagi, yang ditanyain."

"Ya, kan, penasaran. Awas, lho, kalo nemu cewek nggak dikenalin sama gue." Mulut Rion memang, ya, asal jeplak. Dikira cewek itu, barang yang ada di pinggir jalan, apa? Main nemu, aja.

"Ahelah, ntar lo embat gimana?" Rion mencibir. "Gue belum kenalan sama cewek sini. Kenalannya ama temennya Om Dimas yang sama-sama gemblungnya. Tapi baik, sih, sering beliin makanan."

"Oh, pantesan. Lihat pipi, lo, tuh, makin tembem aja." Ledek Rion, tapi memang kenyataan. Aubee otomatis, juga karena reflek menyetuh pipinya, dan menolak dikatakan chubby.

"Trus, lo makan nggak, sih? Lihat, tuh, pipi lo." Rion menarik bibirnya tipis.

"Tiap hari, gue makan lebih banyak dari lo. Tapi emang nggak bisa gemuk, gimana dong?" Rion bahkan dapat asupan kurang lebihnya 8000an kalori per-harinya. Karena tubuhnya sulit menyerap nutrisi, jadinya Rion tetap kurus.

Sepertinya, Aubee salah mengambil pertanyaan. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Pada saat itu, Rion menengok ke arah pintu, sedikit lama. "Kenapa, Dek?"

"Nggak pa-pa, kayak ada orang nongol di kaca pintu." Aubee agaknya panik sendiri disana.

"Heh! Yang bener, ah! Jangan bikin gue parno!"

"Serius." Rion mengataknnya tanpa raut ketakutan. Terbilang santai malah.

"Udah, deh. Gue yang khawatir tahu nggak?" Rion terbahak mendengarnya. "Nggak ada Mama apa Papa, gitu?"

"Dasar penakut." Rion sungguh membuat Aubee cemas disana. Tidak tahukah Rion? "Mama sama Papa di rumah. Kenapa, sih? Gue baik, kali. Atau jangan-jangan. Hantu." Ucapan Rion makin membuat Aubee takut setengah mati.

"Ngomong yang bener, lo!" Rion tertawa puas. Mengerjai Abangnya. "Udah ah! Bobo sono, udah malem!" Titah Aubee tegas, diliputi juga rasa kesal gegara Rion.

"Temenin, ya, jangan dimatiin, ampe gue bobo." Aubee mengiyakan permintaan Rion, tidak ada ruginya menemaninya tidur. Sekitar limabelas menit, telpon mereka masih terhubung. Aubee masih betah memandang Rion yang mulai lelap, dengan nafas teratur itu. Adik kecil Aubee meletakkan ponselnya, pada penyangga gadget, tepat di depannya, di meja lipat yang terhubung langsung dengan kasur. Jadi Aubee merasa bebas melihat Rion langsung.

Tut!

Memilih mengakhiri panggilan. Kini Aubee merasa kesepian lagi, padahal baru saja dia ngobrol banyak dengan Rion. Namun, melihat Rion dalam keadaan baik itu membuat hatinya lebih damai, walau jarak jauh. Baik dalam artian, Rion tak memiliki masalah apapun dari penyakitnya. Jangan salah, Aubee langsung mencari segala sesuatu tentang penyakit kistik fibrosis, yang diidap Rion. Yang terpenting sekarang, Rion masih bisa bernafas.

ORION ✔Where stories live. Discover now