[ 20 ]

3.3K 419 26
                                    

"Rion!"

Membalik tubuhnya, atensinya beralih, pada si pengajak bicara. Misha, berjalan agak cepat, ke arah Rion. Membawa dua kotak bekal koleksi Misha, dengan warna khas, biru dan ungu.

"Bekel Aubee ketinggalan. Titip, ya, sayang. Punya kamu yang biru." Ragu, Rion menerimanya. Hubungan Rion dan Abangnya, belum mereda, pasca Rion mabuk. Iya, tahu. Aubee pasti sangat kecewa. Dia bahkan tidak bicara sama sekali dengan Rion. Dingin, ya, Aubee menjadi dingin.

Rion tahu, mungkin sebuah kenakalan terbesar yang dia buat. Dia banyak merenung, dan memikirkan dirinya. Sudah kebangetan, atau hilang kewarasan ketika memutuskan dirinya mabuk. Malu, Rion sangat malu pada Aubee, jua orang tuanya.

Otak Rion entah pergi kemana waktu itu. Seperti tak lagi pada tempatnya. Insyaf, mungkin Rion harus memikirkan tentang hal itu, sebelum dirinya semakin keterlaluan. Bukan hal baik yang dia lakukan, malah sesuatu yang kelewat buruk dia sambangi, dijajali, tanpa pikir panjang, tanpa tengok belakang. Stress, tentu saja. Sejak kemarin, Rion jadi super diam, karena merasa sangat bersalah atas apa yang dia perbuat.

Menatap lamat itu kotak bekal, sebelum dia taruh di meja Aubee yang kosong. Rion bahkan lupa, yang mana untuk dirinya juga Aubee. Dia tak mendengarkan Misha tadi. Asal, pokoknya dia taruh saja disana.
Melenggang ke kelas, guna menyantap makan siangnya. Tapi ternyata, yang dia taruh di meja sang Abang, adalah miliknya.

Ah! Sudahlah! Yang penting makan, urusan kacang polong bisa disingkirkan, lalu telur mata sapinya, masih bisa dia makan putihnya saja.

Srek!

Otomatis berjingkat, ketika seseorang menarik kotak bekalnya. Tapi Rion langsung tahu, bahkan sebelum melihat, dengan aroma mistnya, dia bisa menebak. Lalu menaruh kotak bekal yang asli miliknya di depannya. Tanpa Rion duga, Aubee duduk di hadapannya, dan menyantap rakus nasi goreng itu dalam diam.

Memilih ikut makan saja, nasi goreng tanpa kacang polong, dan telur orak-arik. Mereka benar-benar beda selera. Kalau Aubee suka pakai kecap, Rion tidak. Juga dengan telur, Aubee suka mata sapi, Rion sebaliknya, dia tidak suka. Karena dia merasa tidak selera dengan telur setengah matang.

"Jangan ulangi lagi," Seloroh Aubee, sedetik setelah menutup kotak bekalnya. Rion mendunduk. "Gue nggak akan bicara sama lo, kalo lo ngelakuin hal-hal diluar kendali lagi kayak kemaren."

"Iya, sorry." Cicit Rion.

"Gue nggak masalah, kok, Adek gue nakal. Tapi tahu batesan. Kalo lo stress, lo bisa curhat sama gue. Gunanya Abang apa, sih? Pajangan? Hiasan? Lo bisa berbagi sama gue. Lo nggak perlu kabur-kaburan. Lo nggak perlu mabok-mabokan. Gue nggak mau lo terjerumus sama orang nggak jelas itu. Awalnya, iya awalnya lo biasa aja. Tapi lama-lama, lo juga bisa kecanduan, atau malah ngobat. Gue tahu lo tertekan, tapi nggak gini caranya. Lo sama aja nyari racun, tahu nggak." Aubee menarik nafasnya dalam. Rion tak berani menatap Aubee. Mode 'seram' milik Abangnya--yang menurut Rion--telah aktif. Dwimanik itu pasti menatap sangar ke Rion. Bisa Rion rasakan itu. Auranya begitu kuat. Yang bisa Rion lakukan, cuma menunduk dalam.

"Lusa, pulang sekolah. Papa bakal bawa lo, ke calon sekolah baru lo."

Apa? Bukan, ini bukan Rion yang terkejut. Namun, orang yang tengah menguping di luar sana. Di bawah jendela, duduk di kursi kayu panjang. Jadi Rion akan pindah? Lalu apa tadi? Mabuk? Vero tak yakin. Tapi, disabel yang merambat menuju rungunya, tidak mungkin salah. Barangkali semua ini terjadi karenanya? Ini tak bisa Vero biarkan. Dia harus bicara dengan Arsen serta Dian. Mereka harus memperbaiki semuanya. Onderdil Rion hampir sepenuhnya rusak. Dan tanggung jawab juga ada pada mereka. Salah satu pemicunya.

~~~~~

Tak ada tanggapan, selain hanya air muka yang terkesan frustasi. "Tunggu, jangan sekarang."

"Nunggu apa lagi, Pa? Rion udah banyak menderita."

"Papa bilang tunggu, ya, tunggu Vero. Papa belum siap."

"Mau nyampe berapa lama lagi, Pa? Kejadiannya udah lama. Lagipula, penyebab Sandra bunuh diri bukan Rion, tapi kita."

Brak!

Dua orang disana tersentak. Ketika tangan kekar itu menggebrak keras meja kayu jati di depannya. "Kamu bilang apa Vero?" Terengah, bahunya naik-turun. Putranya bahkan berani menatapnya tanpa takut. Dia sendiri sudah lelah, ingin menyerah. Tapi orang tuanya tetap keukeuh, mempertahankan semuanya, agar menjadi rahasia. Itu memuakkan, benar-benar muak dengan ini semua. Bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Apa itu pantas? Tidak, ini salah. Tapi mereka belum mau lepas dari kesalahan itu.

Memberanikan diri, menatap nyalang Arsen. "Kalau aku yang milih jalan kayak Sandra. Apa kalian bakal salahin Sandra?"

"Apa-apaan kamu Vero?!" Setelah Arsen, kali ini Dian yang membentak. Mereka sepertinya naik pitam karena ulah Vero, seakan memancing kemarahan kedua orang tuanya.

"Kita terlalu bersenang-senang diatas penderitaan orang. Kita bukanlah manusia. Karena kita nggak punya hati."

Plak!

"Cukup Vero! Hentikan semua omong kosongmu!" Vero tertawa sinis, ketika telapak tangan sang Mama mendarat manis di pipinya. Tidak mengerti jalan pikiran kedua orang tuanya saat ini.

"Sesantai itu kalian menikmati hidup? Hebat, sungguh hebat. Mungkin kalian juga udah lupa sama kesakitan yang kita buat sama Rion. Banyak orang yang mandang Papa bangga, juga kagum. Tapi bagi aku nggak, selama kita nggak mengakui kesalahan yang kita buat. Sandra mati, karena kita, Pa! Sandra depresi karena kita! Semua salah kita! Trus apa yang mau Papa-Mama banggain?!"

Vero terisak, dia mengungkapkan segala uneg-uneg yang selama ini dia pendam. Sesak, sampai rasanya tak ada ruang untuk bernafas. "Aku kecewa sama kalian, juga sama diri aku sendiri. Pernah nggak kalian berpikir, dikit aja tentang hati Rion? Aku selalu mikir di setiap sekon nafas yang aku ambil. Kita nggak ada gunanya hidup. Cuma nanggung dosa. Tapi kalau kita mati secepat itu, juga nggak mampu buat nebus dosa. Pernah mikir kayak gitu? Nggak, kan?"

"Cukup Vero, kamu pasti cuma capek, istirahat sana." Perintah Arsen sebelum pergi bersama Dian, menuju kamar. Vero bergeming, masih duduk membatu. Baiklah, anggap saja Arsen dan Dian egois. Iya, mereka memang demikian. Dengan berjuta alasan pun, tidak akan mampu membuat mereka terlihat benar. Karena yang ada, mereka terus menutupi kebohongan dengan kebohongan.

Tentang Sandra, sebagaimana remaja pada umumnya. Berteman dengan gadis sebayanya, bergaul, apalagi dengan Rion. Sandra selalu suka, saudaranya itu memang absurd, tapi Rion adalah mood booster baginya. Anak badung itu juga akrab dengan Vero. Tapi Vero terbilang pendiam, jadi banyakan Rion yang ngoceh. Tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya kehidupan Sandra. Sampai Rion mengetahuinya sendiri.

Dibawah meja, dia bersembunyi. Menyaksikan segala apa yang terjadi pada Sandra. Mungkin Rion bisa pura-pura tidak tahu, tapi Rion tak bisa melakukan itu. Dia marah, dan mencak-mencak dihadapan Arsen, Dian, juga Vero, tanpa takut.

Dari sana, Rion selalu ada untuk Sandra. Dia ingin membantu Sandra. Tapi yang bersangkutan menolak, dengan berbagai alasan. Bahwa mereka keluarga, dan berhak menentukan jalan hidupnya. Walau sulit untuk dijalani, Sandra mengalah. Tapi Rion tidak terima. Sekali, Rion mengadukannya pada Nenek, karena bocah itu tahu, betapa berharganya Sandra dimata Nenek. Tapi Sandra malah bilang kalau Rion berbohong. Gadis itu mengakui, bahwa dirinya tak ingin diselamatkan. Bukankah itu gila? Rion hanya bisa tertawa miris. Melihat kehidupan saudaranya yang teramat bengis. Seakan awan kelabu sengaja menggandeng gugusan siklon yang membuat puruk-paraknya buana. Seolah-olah jagat bertolak diri, kian jauh, enggan memalun dia yang berpijak pada keterasingan.

Berharap ada satu hari lagi, agar dirinya bisa mengucapkan kata maaf, namun takdir telah merengkuhnya tanpa welas. Dan hari itu, dimana Sandra mengakhiri denyut nadinya. Disana pula, bercokol sesal, yang kemudian terus bermukim.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/08/05.

ORION ✔Where stories live. Discover now