[ 21 ]

3.3K 424 39
                                    

Kita santai, doloo!

Memanfaatkan bangunan berusia tua, mengkombinasikannya dengan arsitektur modern dan tradisional, merupakan bangunan yang tengah ketiga orang itu pijaki. Agar para siswa mempunyai pengalaman belajar yang menarik.

Harus mendaftar secara independen, atau datang kesana secara langsung. Karena situs web hanya akan memberi tahu bagaimana proses pendaftarannya. Tidak begitu rumit. Seperti pendaftaran pada umunnya. Tapi, disana harus ada bakat dan minat yang harus dikembangkan, baik akademik maupun nonakademik. Olahraga. Lagipula Rion hanya bisa unggul di bidang itu.

Para boarder atau siswa asrama, akan tinggal disana, ya tentu saja, di asrama. Mereka tinggal bersama. Para boarder muda, atau siswa baru akan berada pada kamar dengan banyak ranjang dan anak-anak lain. Termasuk Rion nanti.

Boarder yang lebih senior biasanya mempunyai kamar pribadi sendiri atau satu kamar berdua, dengan tempat tidur masing-masing tentunya.

Para boarder mungkin juga mempunyai kamar mandi sendiri atau fasilitas mencuci sendiri. Sebagian besar asrama mempunyai area berkumpul yang nyaman di mana para siswa bisa bersantai, bersosialisasi, dan menonton televisi dengan siswa lain.

Biaya asrama pada umumnya mencakup item-item seperti akomodasi, makan dan minum, serta penatu. Tersedia juga beasiswa disana, bagi yang mau mengambilnya. Namun, sekolah itu dikhususkan untuk laki-laki saja.

Meninggalkan, Anvar yang masih berbincang dengan kepala yayasan. Rion dan Aubee memilih jalan-jalan, keliling sekolah. Tidak terlalu buruk seperti bayangannya.

"Dek,"

"Hem,"

"Gue bakal kuliah di luar kota." Langkah Rion mendadak berat. "Gue udah bicarain ini sama Papa juga Mama, jauh hari." Masih diam, memberikan kesempatan Aubee bicara. "Gue ngejar beasiswa kalo lo mau tahu, ada pengumuman di mading kalo lo baca."

Aubee bercanda apa bagaimana? Sekonyong-konyong, Rion mau menengok mading? Itu mustahil, cuma mitos. Rion hanya membuka mulutnya sebentar, lalu mengatup kembali. Tak ada suara setelah itu. Rion bingung hendak mengatakan apa.

"Sebenernya Mama nggak tega, kalo lo dimasukin asrama." Lanjut Aubee. "Mama nangis, Dek. Minta Papa buat batalin rencana ini. Tapi keputusan Papa nggak bisa ditolak ataupun dibatalkan."

"Jadi lo ninggalin gue?" Serang Rion tiba-tiba.

Aubee menggeleng. "Nggak gitu, gue cuma mau ringanin beban Mama sama Papa. Beruntung gue nemu jurusan yang gue mau."

"Obgyn?" Aubee mengangguki pertanyaan Rion. Iya, Aubee begitu tertarik dengan Obstetri dan Ginekologi. Katanya, walaupun kehidupan dokter spesialis obgin itu bukan hanya seputar kandungan. Tapi, dia akan tetap selalu terpukau dengan keajaiban di dalam perut seorang Ibu. Makanya, dia terobsesi menjadi dokter spesialis kandungan dan mendapat gelar SpOG dibelakang namanya nanti, walau pendidikannya juga terbilang lama. Itu tak menyurutkan semangat Aubee. Rion patut bangga dengan Abangnya itu.

Tapi, mengenai Aubee yang akan pergi, Rion mendadak sedih. Dia seakan egois, karena dalam hati, tak mau ditinggal Aubee. Memang, selama Rion di asrama juga pasti tidak akan bertemu dalam jenjang waktu yang cukup lama. Tapi masalah ini, beda. Karena Aubee berada di luar kota, jauh darinya. "Tenang aja, kalo liburan gue pulang, kok." Bahkan kalimat itu tak mampu mengusir rasa dongkolnya.

Aubee juga tahu, Rion itu, kentara atau tidak, dia selalu butuh Aubee. Walau hanya ada paduan suara yang mereka keluarkan. Namun, semua itu bermakna sebagai kedekatan mereka. Dan hari ini, Rion seakan kehilangan sebagian nyawanya. Seperti ayam kehilangan induknya, dan terus memanggil, agar mereka bersatu kembali. Oh, kasihan.

"Heh, Dek." Aubee menarik bahu Rion, agar mereka berhadapan. "Gue cuma pergi sebentar, bukan selamanya. Gue pasti bakal balik. Lo juga harus benerin hidup lo, juga prestasi lo disini. Gue pengin, pas pulang nanti. Gue lihat Orion yang baru. Bukan Orion yang ndemek kayak gini. Oke?"

Rion mengangguk kaku, dia tidak tahu harus bagaimana. Disatu sisi, Abangnya juga ingin mengejar impian, jadi Rion tak berhak menahannya terlalu lama. Harusnya, sudah bisa Rion baca dari awal. Semua ini ada waktunya, berpisah sementara untuk memilih jalan hidup masing-masing. Jadi? Apa yang Rion permasalahkan? Hanya egonya sendiri.

"Lo harus janji sama gue, Ri. Lo bakal jadi orang yang lebih baik. Gue mau lihat lo senyum lagi, senyum yang bebas. Dan juga, gue harap lo selalu dalam keadaan bahagia."

"Gue nggak bisa janji." Aubee sedikit terkejut. "Gue nggak bisa janji jadi apa yang lo mau."

Menjeda kalimatnya. "Tapi jadi yang gue mau."

Seakan bulan sabit yang melengkung di bibir Aubee. Hingga matanya hilang karena itu. Mereka hanya menyalurkan kehangatan lewat tawa. Bak kesuma yang tengah merekah memasrahkan keelokan tuk segenap persona yang tersua.

~~~~~

Terdapat wayah, dimana ketenangan dapat dirasakan. Seperti saat ini, setelah Rion benar-benar tinggal di asrama. Berkumpul, di dalam ruangan yang isinya enam orang.

Namun, tak dapat dipungkiri, bahwa Misha nampak kesepian. Dan yang jadi teman andalan, ya, Aubee. Untung kalau tidak sibuk dengan segala latihan ujian kelulusan, dia juga tengah mempersiapkan tes guna mendapatkan beasiswa. Jadi yang ada, jarang-jarang Misha ditemani. Anvar? Malah saat ini dia sering lembur. Kan, malah nambah level kesepiannya.

Ingin sekali mengunjungi Rion. Tapi Anvar menyuruhnya, kesana bersama-sama. Sekalian menjemput Rion, untuk liburan akhir semester. Sebenarnya bisa diambil ataupun tidak. Karena sekolah masih mengadakan aktivitas selama liburan bagi yang tak pulang. Seperti kursus bahasa, atau kegiatan lainnya. Semacam les. Tapi Rion juga belum bilang mau ambil libur atau tidak.

Sekolah tak memperbolehkannya membawa ponsel. Jika mau menelpon, harus ke ruangan khusus. Dan itu di batasi, hanya sepuluh menit. Makanya, selama itu, adalah waktu emas bagi para boarder yang ingin temu kangen lewat swara. Ya, karena memang telpon kabel yang digunakan.

Kehidupan Rion cukup membaik disana. Dituntut disiplin, selayaknya asrama pada umumnya. Bangun pagi yang bagi Rion adalah bencana. Mau tak mau, dia kudu membuka mata, sesuai jadwal. Walau beberapa minggu pertama, dia selalu telat, dan ujungnya dihukum, macam biasa. Mandi bergantian, atau seringnya bersama karena mengejar waktu. Sarapan di jam yang tepat. Pokoknya semua serba tepat waktu.

Teman sekamar Rion bukan warga satu kelas. Mereka terpisah-pisah, meski diangkatan yang sama. Tapi bukan masalah baginya. Beruntung, mereka begitu kocak dan masa bodoh. Pas dengan kepribadian bocah badung itu. Setiap hari penuh dengan banyolan tak jelas. Mengusir kebosanan yang melanda. Tidak memungkiri bahwa teman-teman Rion juga kebanyakan bocah-bocah macam dirinya. Tak ayal, mereka memang setipe.

Tatanan baru itu, sedikit banyak mengubah Rion. Dia terima apapun yang mendarat pada kehidupannya. Selayaknya batu keras bak cadas yang terus-menerus ditimpa air. Suatu saat pasti akan melunak juga. Mungkin, seperti itulah Rion sekarang.

Tapi, satu hal lagi yang perlu diingat. Rion hanyalah manusia. Dia lemah, sembunyi di balik citra paling baik, yang dia tunjukkan. Bahkan anggap saja, dia bermuka dua. Karena memang begitu adanya. Dan nyatanya, dia--masih--sama.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/08/06.

ORION ✔Where stories live. Discover now