[ 9 ]

3.7K 449 70
                                    

Mondar-mandir. Tara masih tidak mengerti apa maksud dari Rion. Membanting tubuhnya ke kasur, lagi-lagi otaknya susah mencerna. Tora kenapa memangnya? Dia baik-baik saja 'kan? Lagipula dia selalu mendapat pujian dari keluarga. Kenapa dia harus bermasalah?

"Tuan, sudah ditunggu."

"Ya, Bi."

Makan malam itu seperti makan malam yang sudah-sudah. Diam, hening, dan suram. Hanya pertanyaan menjemukan yang ada. Ayah dan ibunya juga terus bicara soal pekerjaan. Tak ada yang lain. Seperti sudah menjadi kewajiban. Tara rindu makan di rumah Rion. Di mana kehangatan tercipta dengan benar.

Mata Tara menjelajah sekitarnya, tepat menatap Tora yang kali ini terlihat tak ada minat dengan nasi dan lauknya. Biasanya dia akan sangat lahap. Sekalipun Tara tengah diomel pasca ulangan harian yang tak memuaskan, walaupun dapat nilai tertinggi. Kalau tak sempurna Tara akan kena imbasnya.

Tak ada lagi suara, semuanya sudah pergi dari sana. Tinggal Tora dengan segala perasaannya yang entah, dia tidak bisa menjabarkan. Dia beranjak paling akhir, lalu kembali ke kamar tidurnya.

~~~~~

Masih sama keadaan hari itu. Tak ada saling sapa seperti biasa. Hanya saja, Tora terkesan cuek setelah pertengkaran mereka yang melibatkan Rion. Hubungan mereka pun saat ini malah semakin renggang.

Rasanya begitu beda, melihat kembarannya sekarang. Tara sudah sangat hapal melihat Tora menikmati hidupnya. Lalu kini? Dia pula sama-sama tampak tertekan. Ada gambaran rasa tak tersampaikan di wajahnya dan itu ketara.

Ingin bercerita pada Rion. Namun, anak itu juga tak mengindahkannya bak manusia transparan. Padahal dulu dirinya tak peduli pada ada atau tidaknya Rion. Beda lagi cerita pasca praktikum waktu itu. Sepertinya, dia butuh teman curhat. Rionadalah orang yang tepat.

Lagi, keanehan terjadi pada Tora. Biasanya dia akan ke kantin pada jam istirahat. Tora dan Rion adalah sama-sama tukang makan. Kali ini mereka sangat aneh. Okelah, Rion memang dibekali oleh Misha. Tapi, Tora? Apa dia minta pada bibi? Mungkin saja, sih.

Meninggalkan mereka dengan segenap rasa yang menggumpal tak keruan di dada. Setelah sepiring batagor di depan mata pun Tara tak menyentuhnya sama sekali. Dia terus saja kepikiran Tora yang bahkan tak pernah dekat dengan dirinya walaupun kembar, camkan itu.

Mungkin bagi Tara itu biasa. Tapi tidak begitu bagi Tora. "Aku nggak pernah di anggep di keluarga itu," celetuk Tora dengan segala rasa sesaknya. Dia memberanikan diri untuk berucap pada Rion. Gendang telinga Rion masih sehat. Dia mendengar kalimat itu disela-sela mengunyahnya.

"Aku cuma jadi sampah. Nggak ada yang peduli sama aku." Baiklah, Rion diam. Dia mencoba mendengar segala keluh kesah Tora. "Aku emang kelihatan sangat menikmati hidup dilihat dari posisi Tara."

Tepat, sesuai dugaan Rion. Dia melihat itu di mata Tora. Tapi kakaknya itu memang tak tahu atau mencoba untuk tidak tahu. "Dia nganggep aku saingan? Padahal aku aja pengin bisa deket sama kakak. Tapi dia nggak mau. Seakan aku adalah hama."

Ini adalah sebuah pemicu. Rion sudah menangkap sinyal itu. Dia pernah dalam posisi yang sama. Tora berada dalam derita yang sulit disembuhkan. Menyangkut kesehatan mental. Sama seperti seseorang yang Rion kenal. Bahkan orang-orang disekitarnya tak pernah tahu tanda itu. Karena sikap terlalu biasa orang tersebut.

"Aku nggak punya siapa-siapa, selain diri aku sendiri." Rion tak sanggup mendengarnya lagi. Sungguh. Pasti rasanya sama. Menyesakkan, menderita, dianggap tak kasat mata, tak berguna. Pasti sangat … sakit.

"Aku harus minta bantuan sama siapa setelah ini?" Rion masih bungkam. Inikah yang Tora mau?

"Itu bukan jalan keluar, inget masih ada Tuhan," sahut Rion pada akhirnya. Dia juga tak berani menduga-duga apa yang diinginkan Tora. Rion cuma takut kalau Tora punya niat buruk terhadap hidupnya.

"Terus, jalan keluar menurut kamu apa? Disaat kamu sendirian."

Merasa tertohok, kalimat itu menusuk begitu dalam. Rion membisu, menarik napas semampunya. Mungkinkah? Mungkinkah seorang gadis yang Rion kenal merasakan ini waktu itu? Tak adakah cara lain selain yang dia lakukan? Apa itu mengusir sakit yang dia terima?

"Apa semua akan selesai setelah itu?"

"Ku harap iya."

Setelah itu, Rion tak lagi bicara dengan Tora. Mereka hanya saling diam lagi seperti sedia kala. Tora juga melakukan hal-hal monoton yang setiap hari dia lakukan. Tak ada yang spesial. Semua masih baik-baik saja.

Tiba-tiba pula, Rion jadi pendiam. Anvar, Misha, dan Aubee bahkan bergidik. Kalau-kalau Rion kesurupan. Soalnya Rion jadi lebih penurut saat ini. Di perintah beberapa kalipun, dia akan beranjak mengerjakan. 'Kan aneh. Biasanya juga dia misuh-misuh, tak jelas.

Seperti kehilangan Rion. Misha merasa kesepian. Rumah jadi sepi tanpa keributan yang biasa pemuda itu buat. Anvar juga sudah mengalah, melupakan kejadian waktu itu. Mengingat perubahan drastis Rion. Dia tak mau ada apa-apa dengan anak bandelnya itu.

"Dek."

"Hem."

"Ada apa sih, sebenernya? Cerita dong, sama mama." Misha mendatangi kamar putranya, yang tengah bergelung dalam balutan kehangatan. "Jangan kayak gini, mama nggak suka."

"Aku nggak bisa ceritain ini, Ma."

"Kenapa?"

"Jangan tanya kenapa, please. Aku nggak bisa bikin alesannya." Terdengar memprihatinkan. Tapi kenapa jadi lucu, sih. Rion lebih menggemaskan, kalau kata Misha.

"Ya udah, Mama nunggu adek, deh. Mau ceritanya kapan."

Tak ada yang sanggup untuk diceritakan. Ini bukan sebuah dongeng fantasi ataupun romantis. Tapi tragedi. Rion menyimpannya di dalam kepala. Hal itulah yang ditakutkannya akan terjadi lagi. Dia hanya takut kejadian itu terulang, pada orang lain dengan alasan yang sama. Saingan antar saudara.

~~~~~

Ini bukan pagi yang indah, bukan juga pagi yang suram. Namun langit terlihat mendung sejak pukul enam. Mungkin kalau suasana hati Rion tak begini, dia akan langsung menanti hujan menjatuhi dirinya, tapi tidak kali ini.

Pandangannya kedepan, namun pikirannya tak tahu kemana. Mungkin dia akan pergi menemui si Keriting. Melihatnya teler lagi atau bahkan dia mencoba untuk teler seperti bocah itu dan kawan-kawannya. Hanya saja belum ada rencana. Lagipula dia tak tahu Keriting di sekolahnya atau tidak. Rion lihat nama sekolahnya dari tanda di lengan kiri seragam anak itu.

Hanya berkali-kali membuang napas, ingin sekali Rion minggat tetapi ingatannya melarang itu. Anvar sudah mewanti-wanti kalau Rion kabur lagi. Asrama sudah siap menantinya.

Sekian lama, Rion menunggu dengan bosan. Kantuk juga turut nimbrung. Bel yang sangat Rion tunggu pun berbunyi. Auto berhamburan mereka dari sarang. Termasuk Rion, tapi dia masih tetap menunggu sang abang. Sebab empunya masih pakai tongkat bantu jalan. Agak lama jadinya.

Ternyata diluar gerimis tengah melanda dan mulai deras saat Anvar sudah siap dengan payung sebagai alat pelindung. Walaupun tak begitu berguna karena masih basah, tuh. Menjemput dua jagoannya lalu membantu Aubee masuk lebih dulu.

"Rion, masuk nak. Buruan! Hujannya tambah deres." Rion bergeming, dia tengah memperhatikan seseorang, bahkan payungnya sudah jatuh terbalik. Gelagatnya aneh. "Rion!" Tak digubris panggilan Anvar. Si papa bahkan sampai mendekati Rion yang sudah basah kuyub.

Namun, matanya membelalak ketika Rion berlari kencang. Menuju seseorang yang ingin beradu nyawa dengan besi truk. Semua seakan bergerak sangat cepat. Yang berada disana hanya bisa berteriak kesetanan dan menutup mata.

"RION!"

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/07/21.

Eiited [11 Feb 2022]

ORION ✔Where stories live. Discover now