[ 19 ]

3.1K 435 30
                                    

Masih bersekolah, sebelum pindah. Kenyataan bahwa dia akan tinggal diasrama, itu seakan membunuhnya. Sebenarnya Rion tak mau itu terjadi. Tetapi, Rion sadar, ini hukuman atas dirinya. Tak mungkin dia kabur dari segalanya. Percuma saja, itu tidak akan manjur.

Takut akan hantu, lari ke pandam. Artinya keadaan dimana ketika seseorang mencoba untuk menghindari suatu masalah, tetapi bukan berhasil, malah orang tersebut terjerumus ke masalah lain yang bahkan lebih besar.

Terbuai dengan ketenangan sementara. Setelahnya, dia akan mengadapi masalah baru. Semacam hutang yang akan terus berbunga.

Hanya saja, pemadangan pagi ini berbeda dari sebelumnya. Semua orang berkusu-kusu, melirik, sinis, adapula yang menatap ngeri. Baiklah, sepertinya gosip sudah menyebar. Perkara kecil yang dibesar-besarkan karena menjadi buah bibir orang.

Tapi bukan Rion, kalau menganggap semua itu serius. Mereka tidak tahu yang sebenarnya, cuma menerka-nerka. Rion tak ambil pusing mengenai itu semua.

"Rion." Langkahnya berhenti, ketika bariton itu memanggilnya. Memanggil namanya. Saat itu, makin jadi, deh, Rion dicemooh.

Memberanikan diri, berbalik menghadap Vero. "Ada apa?" Teduh, berbeda dari sebelumnya. Seakan Rion tengah menahan segala sentimen, ketika bertemu pandang dengannya.

"Kasih gue waktu, sebentar aja. Buat jelasin ini semua." Tuturnya, Vero nampak sangat cemas.

Hembus nafas lelah, terdengar dari mulut Rion. "Udahlah, lagian gue udah dicap sebagai tersangka. Nggak ada yang bakal percaya sama lo."

"Nggak Ri," Vero menggeleng lemah. "Gue mau lurusin ini semua. Kematian Adek gue, nggak ada sangkut pautnya sama lo. Ini semua murni, salah gue, sama Papa, juga Mama. Gue nggak mau, lo jadi korban atas semua ini."

Rion mengerti, dia mengangguk. Dia juga tak tahu, sekarang, harus marah atau tidak pada Vero. Rion tak pernah berpikir bahwa Vero mungkin mengalami kesulitan. Tapi dirinya juga pernah berasumsi, kalau saudaranya itu memanfaatkan keadaan untuk sembunyi dulu. "Kenapa? Butuh waktu selama ini, Ver?"

"G-gue takut Ri." Rion mengangkat sebelah bibirnya.

"Gue lihat lo, punggung lo. Saat gue mau turun, dan lihat keadaan Sandra. Kenapa lo pergi? Kenapa lo biarin gue sendiri disana? Kenapa lo biarin gue ketakutan disana? Brengsek lo." Vero bungkam. Diapun merasa takut waktu itu. Dia tak tahu harus berbuat apa. Seperginya dari sana, dia hanya mengurung diri di kamar. Dan menangis.

"Sori, gue nggak tahu harus gimana."

"Gue nggak minta dibela. Tapi seharusnya, lo ngomong sama mereka. Bukan gue pembunuhnya. Harusnya lo bilang, bukannya diem kayak pengecut. Gue terima apa yang mereka omongin tentang gue. Ya, gue nakal. Gue brandal. Itu semua melekat sama gue. Makanya, gue selalu cari masalah. Biar capnya nggak ilang dimata mereka."

"Ri," Vero tidak tahu. Dia sudah terlalu kejam ternyata. Mereka salah menganggap Vero dengan kata 'baik'. Mereka salah mengira, padahal Vero itu buruk, lebih buruk dari sampah. "Gue minta maaf." Rion bergeming. Tak mengeluarkan sepatah katapun.

"Gue bener-bener minta maaf, gue sadar, gue salah. Gue mau lakuin apapun buat lo. Buat gantiin ini semua, Ri."

"Nggak ada Ve, nggak ada yang perlu lo lakuin buat gue. Gue udah cukup seneng kalo lo sadar. Gue juga udah bosen Ve, dengan keadaan yang terus kayak gini, nggak ada kemajuan apapun. Macet, nggak kemana-mana."

"Ri,"

"Gue bakal pergi, setelah ini." Vero membelalak. "Tenang aja, lo nggak bakal lihat gue lagi." Perlahan meninggalkan Vero, yang masih berdiri dengan segala rasa bersalah yang menggunung. Menyelimuti bak kabut tebal, yang mengganggu pandangan.

Capek, sungguh. Masalah ini terlalu lama bersarang. Sampai usang merangkap debu tebal yang mendominasi. Rion jenuh, jemu, harus terus terperangkap dalam perkara yang tak berujung. Gajaknya bak hilang nyawa.

Rion mencoba keluar. Semata-mata demi ketenangan hatinya. Seperti apa kata Anvar, memutuskan dan meninggalkan bukanlah sesuatu yang kejam. Mereka yang meninggalkan dan ditinggalkan sama merananya.

Meninggalkan berarti harus siap disalahkan semua orang. Tidak boleh membenci, tidak boleh melakukan pembelaan karena meninggalkan berarti telah berbuat kesalahan. Sementara bagi yang ditinggalkan, dengan leluasa dapat membenci. Bebas melakukan pembelaan. Hak yang tidak akan didapatkan saat meninggalkan.

~~~~~

"Nggak bisa gitu, Bang."

"Terus, aku harus gimana?"

Lingga pun cuma diam. Dia mengusap wajahnya kasar. Ketika Anvar tiba-tiba datang, mengatakan semua yang terjadi. Shock, tentu saja. Lingga tidak habis pikir, dengan Rion. Juga...Nenek.

"Apa sih, maunya Ibu mertua kamu itu, Bang?"

"Membuat Rion, agar terus mengingat itu."

"Kejadiannya udah lama, dan pernyataan Rion bahwa Sandra bunuh diri. Cuma penyebabnya aja yang belum jelas."

"Rion tahu." Lingga seketika menegang. Merasa tak percaya.

"Maksud Abang?"

"Dia tahu segalanya, sepertinya berhubungan dengan Vero, Arsen, juga Dian. Mereka bungkam, dan ini penyebab Nenek mengkambing hitamkan Rion." Seperti diiris sembilu, pedih, apa salah Rion? Karena dia satu-satunya yang ada disana? Makanya semua dituduhkan padanya?

"Ini nggak adil Bang. Kenapa tanggung jawab ada sama Rion semua?" Anvar menggeleng pelan.

"Rion nggak pernah benci sama Vero. Dia cuma pengin, Vero mengakui semuanya. Itu aja. Nggak lebih."

"Padahal mereka deket banget, dulu." Iya, Anvar setuju dengan itu. "Tapi, hubungan mereka rusak setelah kematian Sandra."

"Yaudah, aku pulang dulu. Sana tugas lagi." Usir Anvar, seraya beranjak dari kursi kantin rs. Dia mampir kesana untuk curhat pada Adiknya itu. Lingga tak pernah mengira, bahwa semua masalah ada pada titik pengakuan. Hanya itu, dan membuat Rion menderita batinnya. Mungkin Sandra juga, demikian. Dia belum tenang sampai saat ini, di alam sana.

~~~~~

Semua terasa hancur. Pertolongan yang dilakukan tidak berhasil. Sandra, pergi. Tidak ada kata perpisahan untuk keluarga.

Nenek yang tak terima, langsung menghampiri Rion yang juga terus menangis. Mencengkram kerah bajunya, lalu menggamparnya begitu keras. "Ini semua gara-gara, kamu!"

Perih, Rion juga merasakan kehilangan. Lalu, dirinya tersadar ketika Nenek mampu membanting dirinya ke selasar IGD. "Pergi kamu!"

Obsidian itu hanya terus meloloskan butiran kesedihan yang mulai dia mengerti. Apa Nenek menyalahkannya? Kembali lagi, dia membuat Rion berdiri. Menamparnya lagi, disisi lain.

"Kamu membunuhnya! Kamu membunuh Sandra!" Kalimat itu, terasa terus berputar di dalam kepalanya. Sampai, tak tahu bahwa dirinya kehilangan kesadaran.

Terperanjat, Rion sibuk mengais oksigen guna mengisi rongga dadanya yang terlihat kembang kempis. Menyebalkan, ketika tidurnya terganggu. Namun, kali ini bukan sekedar mimpi saja. Tapi, lagi-lagi, batuk yang menyiksa menyerangnya. Karena tak mau mengganggu siapapun malam itu, Rion membekap wajahnya dengan bantal. Agar suara batuknya teredam.

Sedikit reda, dia mengambil obat serta meminumnya, yang masih ada, sisa tempo hari. Mendingan, beberapa menit setelahnya. Hanya saja, Rion tak bisa tidur lagi. Diam, menekuk lututnya, lalu kepalanya dia sembunyikan dalam lipatan tangannya.

Memikirkan segala salahnya. Siapapun, beri tahu Rion bagaimana cara memperbaikinya. Atau, bagaimana kalau dia minta Tuhan, untuk melukis ulang takdirnya? Bukankah itu ide yang bagus?

Rion merasa sendirian sekarang. Dia...masih takut.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/08/04.

ORION ✔Where stories live. Discover now