[ 29 ]

3.5K 410 56
                                    

Kelakar menjejali setiap sudut koridor yang beberapa orang itu lewati. Menjaga jarak, itu sudah pasti. Mereka keluar bersama setelah olahraga. Tak terkecuali Rion. Lalu berpisah, memasuki kamar masing-masing.

Namun, pemandangan tak terduga menyapa indera penglihatannya. Nenek berdiri canggung di depan pintu ruang rawatnya. Keduanya bertemu pandang. Awalnya, Nenek beranjak ingin pergi. Tapi, Rion tahan.

"Masuklah,"

Ragu, tapi sepersekian sekon kemudian, dia melangkahkan kakinya, memasuki ruangan itu. Seperti dulu, ketika suami pertamanya juga harus terus berada disana. Dia mendapatkan donor paru, namun hanya bertahan selama 4 tahun. Lalu, dia harus mendapatakan transplant lagi, sayangnya, hanya 1,5 tahun. Tubuhnya mendadak menolak, merasa paru-paru tersebut adalah benda asing. Yang semula, paru-paru baru itu berfungsi 93% perlahan beralih menjadi hanya 3%. Sembilan bulan, suaminya harus dirawat kembali di bangunan tempat manusia mendapatkan kembali kesehatannya, dan terkadang tempat itu menjadi akhir pula dari seseorang.

Ruangan Rion, terbilang sepi pernak-pernik. "Aku mau mandi, Nenek duduklah, kalau mau minum, ada air di kulkas."

Begitu Rion masuk kamar mandi. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Senang? Tidak. Sedih, juga tidak. Atau marah? Sama sekali, tidak. Hanya...biasa saja atau mati rasa? Seperti dikunjungi Misha setiap hari, cuma tak sehambar ini.

Menyelesaikan kegiatan bebersihnya yang berbeda dari sebelumnya, karena ada sebuah port-a-cath dipasang, di dada--yang tadinya mulus--sebelah kanan. Dia harus bergegas atau dia akan segera kehilangan nafas disana. Karena, Rion masih bergantung pada benda itu.

"Apa Nenek kesini sendiri?" Tanya Rion, seraya memasang selang oksigen di hidungnya. Lalu duduk di ranjang. Berhadapan dengan Nenek, di kursi tunggal di samping kirinya.

Nenek mengangguk, rasanya begitu gamang bertatap muka langsung dengan Rion. "Rion, Nenek ingin mengatakan sesuatu." Yang di ajak bicara, masih diam.

"Sebenarnya, Nenek seperti tak punya muka untuk menemuimu. Tapi..." Seolah mengakui kesalahannya. Membenci Rion tanpa sebab, kenakalannya hanya sebagai kedok. "Nenek menyesal." Ya, memang harusnya seperti itu, bukan?

"Lawas, ya?" Tanya Nenek pada udara. Nenek paham, kenapa Rion tak menjelaskannya, juga salah Nenek sendiri, karena tak mau mendengarkan kebenarannya. Semua jadi serba salah baginya. "Nenek minta maaf." Iya, hanya kalimat itu yang bisa Nenek luncurkan dari kedua belah bibirnya. Meruntuhkan segala kegengsian yang selama ini dia pendam. Sudah lama, sejak beberapa hari lalu, Nenek sering datang, dan tak berani masuk. Cuma berdiri di luar, mengintip dari kaca kecil yang terdapat di pintu.

"Terlambat." Rion dan Nenek seketika menoleh ke arah bunyi yang menggema rungu mereka.

"Ma," Gumam Rion.

"Ibu, nggak semudah itu kami maafin Ibu, atas semua perlakuan Ibu terhadap Rion, putraku. Ibu pikir, kami nggak sakit hati?"

"Ma," Mencoba menghentikan Misha.

"Rion, Mama belum selesai bicara. Kenapa, Bu? Apa karena Rion sekarat, Bu? Ibu mencari simpati?" Rion mulai pusing, apalagi Misha terlihat meledak-ledak sekarang. Rion turun dari bed. Mendekati Misha.

"Cukup, Ma."

"Belum sayang. Ibu, kumohon Ibu pergi dari sini. Sebelum perkataanku lebih menyakitkan dari perlakuan Ibu." Titah Misha tegas, tatapannya sarat akan amarah yang memuncak. Darahnya mendidih dahsyat.

"Misha, Ibu sungguh minta maaf, ya, Nak. Ibu, terbawa emosi." Nenek beringsut, mendekati Misha, menggenggam tangan cantik itu, bahkan berlutut di kaki Misha.

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang