4 BELAS (Lara?)

105 68 88
                                    

Setiap manusia memiliki jatah suka dan dukanya masing-masing.

[Happy reading❤]



Lintang pulang ke rumahnya dengan banyak luka lebam di wajahnya. Sudah ia duga kalau ayah Karin akan salah paham padanya. Pria parubaya itu memukulinya habis-habisan, berakhir dengan Karin yang membelanya mati-matian.

Ia tidak mengerti lagi dengan ayah Karin, bisa-bisanya dia sekejam itu pada anaknya. Dia tidak lain sperti monster mengerikan yang penuh dengan amarah. Lintang mendelik lantas berpikir, ahh nasibnya tidak jauh berbeda dengan Karin.

Ia kemudian mendorong motornya masuk ke garasi, jantungnya saat ini terpompa cepat, sialnya ia melupakan satu hal, kalau dirumahnya juga ada satu monster yang mirip dengan ayah Karin.

Entah bagaimana reaksinya jika melihat anaknya pulang dengan wajah yang dipenuhi luka lebam. Tapi bukan itu yang sekarang ia khawatirkan, melainkan bagaimana caranya menjelaskan Luka yang ia dapatkan itu ke papanya.

Lintang membuka pintu rumahnya pelan, rencananya ia akan mengendap-ngendap masuk melangkah ke kamarnya, agar papanya tidak tau kalau ia baru saja pulang.

Sepertinya... hari ini dirinya ketiban sial, yang dia hindari memegorki dirinya membuka pintu rumahnya.

Iya papanya duduk di sofa depan tv menghadap ke arah pintu. Pria parubaya itu menatapnya datar dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan.

Kemudian pria itu berdiri, dan melangkahkan kakinya mendekati anaknya, kedua tangannya terkepal, kepalanya menggeleng. Ia tahu papanya sedang menahan amarahnya.

"Dari mana saja kamu?" sarkas papa Lintang.

"Rumah temen." mata Lintang melirik apa saja di dekatnya, agar tidak berkontak mata dengan papanya.

"Itu wajah kamu kenapa?"

"Papa gak liat, atau bagaimana?"

Mendecih, "Kamu berkelahi di luar sana kan!, jadi sok jagoan!"

"Marahin Lintang aja terus, tuduh aja terus!!."

"Papa seperti ini untuk kebaikan kamu Lintang!" nada bicaranya meninggi.

"Nggak perlu Pa, sana urus saja selingkuhan Papa!." menatap tajam ke papanya.

Plakk!!

Suara tamparan itu menggema di ruang tamu, membuat Wulan dan Bagas tersentak di kamarnya, kemudian tergopoh menghapiri sumber suara yang ia dengar.

"Sudah, cukup pa!" teriak Bagas lalu menghampiri papanya dan Lintang. "Sampai kapan papa begini terus ke Lintang," lanjutnya.

"Papa begini bukan cuma sama Lintang, ini juga berlaku untuk kamu dan juga wulan, kalau kalian membangkan!." Tunjuknya ke Bagas dan Wulan, kemudian beranjak pergi.

Wulan yang panik langsung meraih tangan Lintang, membawanya ke kamar yang pintunya bertuliskan nama kakaknya, Gama Lintang permadi. Sedangkan Bagas mengekor di belakang kedua adiknya.

Lintang dan Wulan duduk di sisi ranjang yang berwarna abu-abu itu, sementara Bagas berdiri di depan kedua adiknya dengan tangan yang dilipat di depan dadanya, memberi tatapan seperti ingin menginterogasi.

"Kamu kenapa babak belur kayak gitu?" titah Bagas.

"Tidak bisa ku jelaskan sekarang," menunduk.

Mendecak, "Serumit itu kah?"

"Aku ambil P3K dulu," sela Wulan, lalu beranjak keluar.

"Huuuffft," Lintang menghela nafas panjang.

CANDALA [Lebih Dari Sekadar Minder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang