9 BELAS (Rindu)

78 34 87
                                    

Sungguh perpisahan dari putus cinta bukanlah hal yang menyedihkan, jika dibandingkan dengan perpisahan beda dunia.





Di depan gundukan tanah merah yang nisannya bertuliskan Thitania Baskara, dua orang anak sedang duduk memeluk lutunya dan menunduk. Menatap tanah merah di hadapannya dengan tatapan sendu.

Perempuan mungil berkulit putih itu menangis tersedu-sedu merangkul lututnya sejak ia menginjakkan kakinya di depan makam mamanya, sedangkan pria jangkung bersurai legam itu melepas pelukannya di lututnya dan beralih merangkul adiknya, menenagkan, tapi tangisnya tak bisa juga ia tahan.

Sudah dua tahun lebih mereka ditinggal oleh sosok perempuan luar biasa yang mereka sebut sebagai mama. Perempuan kuat yang mampu menahan sakitnya bertahun-tahun sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Siapa yang bisa menahana air matanya jatuh jika dihadapkan dengan sosok yang ia cintai, sayangi dan kagumi, tapi kehadirannya bahkan tidak bisa ia jumpai. Sedih sekali bukan, apalagi mereka ditinggal di usia yang masih muda.

"Kak... aku ka_ngen mama." ucap Wulan sesenggukan.

Pria jangkung itu mempererat rangkulannya, menghapus ait mata yang jatuh di pipinya, meski masih ada yang tertinggal di ujung matanya. Ingin sekali rasanya ia membalas ucapan adiknya, tapi melontarkan suaranyapun ia tidak sanggup, tubuhnya bergetar, sakit dadanya tambah meradang mendengar ucapan itu.

Lagi-lagi air matanya menetes, tangannya cepat-cepat menghapus air mata itu. Rangkulannya ia loggarkan, badannya ia mundurkan sedikit kemudian tangannya menangkup pipi adiknya, menghapus jejak air mata yang mengalir di sana.

Dengan mata yang berair, dada yang sesak karena menahan  tangis, Ia berusaha sebisa mungkin menenangkan adik perempuannya yang cukup mirip dengan mamanya.

"Sudah ya nagisnya." ujar Lintang lirih.

Perempuan mungil itu mengangguk, kemudian menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangisnya yang rasanya begitu sulit. Rangkulan kakaknya terlepas, bertepatan dengan datangnya saudara tertuanya Bagaskara Permadi.

Keduanya menoleh ketika mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Tepat di samping kanan mereka, pria bersurai kecoklatan itu sedang menatap kedua adiknya dengan sendu. Tangan kirinya membawa bunga kesukaan mamanya, tulip kuning.

Pria sulung itu merundukkan badannya kemudian berjongkok dan mengulur kedua tangannya, merengkuh kedua adiknya yang sedang memandang dirinya. Tak kuasa Bagas melihat adiknya, air di ujung matanya sudah menggumpal ingin menumpahkan diri dari sana.

"Maaf kakak agak telat."

"Minta maafnya ke mama," titah Wulan.

Bagas melepas rengkuhannya, kemudian berpaling pelan dan menunduk manatap gundukan tanah merah di depannya, tangan kananya meremat tanah itu kuat-kuat, dadanya sesak, matanya rasanya perih. Sakit sekali.

"Maaf ma aku agak telat." ucapnya bergetar, kemudian meletakkan bunga tulip kuning yang sedari tadi ia bawa di atas gundukan tanah itu.

"Sudah dua tahun lebih ya kak, mama ninggalin kita?" lirih Lintang.

Mengangguk pelan, "Iya."

"Artinya... sudah sekitar 3 tahun aku benci sama papa."

"Kak." ucap Wulan sangat pelan.

"Ma, papa nggak berubah." mengehela nafasnya. "Papa masih jahat ke Lintang." menunduk, meremat tanah di hadapannya. "Aku kangen mama ngebela aku di hadapan papa." air matanya jatuh.

CANDALA [Lebih Dari Sekadar Minder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang