7. Cerita di Pemakaman

58 9 0
                                    

Apa aku terlalu kurang berjuang?

* * *

"Kamu suka aku, ya?"

Tak pernah terpikir sebelumnya jika dirinya akan ditanyakan hal gila semacam ini. Jika ditanya bagaimana, sumpah, Lion gugup setengah mati.

"Ngomong apaan, sih? Gak jelas banget."

"Lo, kok gak jelas, sih? Tinggal jawab aja, 'iya' atau 'enggak'. Soalnya kemarin itu, Mbak Aurin sempat bilang kalau kamu itu sebenarnya suka sama aku. Tapi, mana mungkin, sih? Kita ini, kan, sahabat. Dan, gak bakalan ada rasa cinta dalam hubungan ini, 'kan?"

Lion tertawa pelan. "Iya. Gak bakalan ada rasa cinta dalam hubungan ini."

Flower mengangguk dan kembali bersantai seperti tidak terjadi apa-apa. Tak tahu jika beberapa detik tadi, dirinya baru saja mengacak-acak perasaan laki-laki di sampingnya.

Rasanya, Lion ingin menarik hidung Flower yang terlihat menyebalkan. Perjuangannya sudah sejelas ini, tetapi mengapa dia tidak memahaminya?

"Oh, iya, setelah ini, aku mau ke ruangan Pak Ben dulu. Ada sesuatu yang mau dibicarain sama beliau. Kamu sendiri langsung masuk kelas, 'kan?"

Lion mengangguk dan Flower tersenyum simpul.

Dia menyukainya, sungguh. Setiap kali Flower berbicara, Lion akan selalu memperhatikan gerak bibirnya. Saat gadis itu berkedip, dirinya akan menikmati keindahan gerak bulu matanya. Dan, ketika dia tersenyum, Lion merasa semua yang indah di dunia ini, telah dimilikinya.

Lion tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul. Namun, dia tahu kecelakaan enam bulan lalu telah mengubah separuh hidupnya.

Di hati yang terdalam, Lion sadar masih ada ruang kosong terbengkalai. Sudah lama sekali ruang itu ditutup paksa. Pada akhirnya, dia memberanikan diri membuka pintu hati. Mencoba mencintai Flower layaknya cinta seorang laki-laki kepada gadisnya. Akan tetapi, lama-kelamaan dia tersadar, rasa yang ia punya telah mencapai titik tertinggi dari batas yang belum mampu ia lompati.

Mulai hari itu, Lion takut jika lompatannya masih belum kuat untuk melampaui batas yang teramat tinggi. Dia takut jatuh, mungkin patah hingga tak menemukan obat menyembuhkan luka di hati. Karena rasa yang dimiliki, dia takut saat melihat Flower menangis, menyendiri di taman pada malam hari, atau ketika terlalu dekat dengannya seperti saat ini. Bukan apa, tetapi bila nanti Genta benar-benar kembali, siapa lagi yang harus ia dampingi?

"Hei, sampai kapan tangan aku digenggam terus?"

Lion tersadar dari lamunan. Langkahnya telah membawa mereka tepat di depan ruangan Pak Ben. Dia merasa sesuatu yang hangat dan erat tengah memenuhi jari-jari tangannya. Ketika dilihat, matanya terbelalak. Mereka saling bergenggaman.

"Kamu gak sadar, ya, udah genggam tangan aku seerat ini?"

"Eh?"

"Aku gak tau kenapa. Tapi, jujur aku juga kaget banget tadi. Kamu tiba-tiba aja ngegandengin aku. Aku juga gak ada niatan sama sekali buat ngelepasinnya. Selain membiarkan kamu selesai melamun, aku juga menginginkan hal ini terjadi. Soalnya ini kali pertama juga buat kita."

Lion mengangguk patah, terlalu kaget dengan tingkahnya. "Masuk sana. Kali aja Pak Ben udah nunggu lama."

Flower tak langsung pergi. Seraya mendongak menatap Lion, tangannya bergerak merapikan susunan rambut yang dinilai berantakan. Ini adalah kebiasaan Flower sejak dulu. Baginya, Lion dengan rambut berantakan memang terlihat tampan. Namun, Lion dengan rambut rapi akan jauh lebih mengagumkan.

"Heran aku. Kamu itu gak pernah sisiran, ya? Kok, rambutnya berantakan terus, sih?"

"Sengaja diberantakin," Lion memberi jeda, mengundang alis Flower terangkat sempurna, "Biar bisa deketan terus."

20.12 Where stories live. Discover now