24. Si Keras Kepala

24 7 0
                                    

Kalau mau tahu, sampai detik ini aku tidak tahu makna dari kata baik-baik saja yang sesungguhnya.

* * *

Mata yang sudah sempat terbuka refleks tertutup lagi saat bias cahaya yang menembus jendela kaca mengenai wajahnya. Ia menutup muka dengan satu tangan, menghalau sinar mentari seraya berusaha untuk kembali membuka mata dan menyesuaikannya dengan pantulan cahaya yang ada. "Ehm, udah pagi, ya?" Dengan suara serak, Flower bertanya kepada dirinya. Sedetik kemudian, ia bangkit hanya untuk menatap refleksi diri yang terpantul dari sebuah cermin besar tepat di hadapannya. Namun, bukan tentang ukiran pada sepanjang sisi cermin yang membuat Flower terpaku. Melainkan tentang bagaimana dirinya bisa terdampar pada sebuah kamar yang nyaris kosong itu.

Flower mengedarkan kepalanya ke segala penjuru arah. Selain kasur, lemari, dan sebuah cermin besar, maka tak ada lagi yang dapat ditemukan olehnya. Kamar ini benar-benar mendekati kata kosong──seolah belum pernah disentuh oleh tangan siapa pun. Hingga saat ia berpikir sedikit lebih lama, dia akhirnya tahu siapa pemilik kamar ini sesungguhnya. "Lion ...." Flower melirih di antara banyak ketakutan yang ia punya. Karena kejadian semalam, tidak begitu saja dapat terlupakan──hilang dalam pikirannya.

Dia tahu saat Wira membawanya lalu menamparnya menggunakan telapak tangan yang berukuran sama dengan wajahnya itu. Akan tetapi, bagaimana caranya ia bisa terdampar di sini? Apakah malam tadi Lion datang dan melindunginya seperti yang sering ia lakukan? Kalau iya, maka Flower harus bergegas sekarang.


Masih dengan pakaian semalam, Flower menuruni anak tangga usai mencuci wajahnya di dalam kamar mandi beberapa saat tadi. Kini dirinya tampak lebih segar, sesuai benar dengan cuaca cerah di pagi bersih ini. Untuk beberapa saat Flower terdiam di anak tangga terakhir. Manik kecokelatan miliknya akhirnya berhasil menemukan pemilik rumah yang detik ini memang hendak ditemui olehnya. Ia menggigit bibir dua detik, menarik embuskan napas lalu meyakinkan diri tentang langkah apa yang harus diambil olehnya kini.

Sepiring roti yang sudah dibakar dengan dua rasa selai tampak tertata rapi di atas meja. Kini, laki-laki berkaus hitam dengan celana santai di atas lutut terlihat menjerang air untuk kemudian dituangkan ke dalam dua tempat. Ia mengaduk-ngaduk cangkir kopi usai memastikan bubuk susu putih pada gelas yang satunya sudah benar-benar larut dan siap diminum oleh Flower. Saat itu, ponselnya tiba-tiba menyala karena sebuah pesan dari Samuel baru saja diterima olehnya. Tepat ketika tangan satunya sedang mengetik pesan balasan, ia merasakan sesuatu menarik ujung bajunya dengan gerakan perlahan.

Lion menoleh hanya untuk menemukan Flower yang berdiri seraya menatap lekat-lekat ke arah matanya. Gadis itu menggigit pipi bagian dalam, terlihat benar bahwa saat ini dirinya tengah ketakutan. "Kamu yang selametin aku semalam?" Menelan ludah saat menyadari bahwa Lion sama sekali tidak tertarik untuk menjawab pertanyaannya. Baiklah, detik ini Flower menganggap bahwa itu adalah 'iya'. "Em ... makasih banyak, ya. Kalau gak ada kamu, entah gimana jadinya aku."

Di ujung kalimatnya, Flower menyadari bahwa Lion masih menatap dengan tatapan yang terlalu dingin. Tak ada raut khawatir ataupun cemas yang nyatanya sangat Flower harapkan. Hingga pada detik kesepuluh, Lion akhirnya berpaling. Sesaat kemudian ia terlihat menyelesaikan ketikan pada ponselnya. Usai memastikan pesan itu terkirim, ia pun beranjak pergi meninggalkan Flower. Langkahnya menuju ke arah meja makan, meletakkan dua gelas minuman ke atas meja. Tanpa perlu merepotkan diri untuk menatap Flower lebih jauh, dia pun berujar, "Aku cuma bisa siapain roti sama susu. Silakan dimakan."

20.12 Where stories live. Discover now