10. Kiss Me

57 12 2
                                    

Jika kamu bahagia, artinya harapanku terpenuhi semua.

* * *

Pagi-pagi sekali Lion mengabari tidak bisa menjemput karena ada urusan penting yang harus diurus. Sambil melirik jam tangan pemberian Aurin, Flower melangkah dengan tergesa menyebrangi jalan raya.

Hidup dan tinggal di kota yang super sibuk membuat Flower terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sepagi ini saja, lalu lalang kendaraan tidak terbilang banyaknya. Debu-debu halus, deru kendaraan, bahkan baunya asap knalpot bercampur menjadi satu. Flower mengeluarkan banyak keringat karena kelelahan berjalan. Dia masih mengembuskan napas panjang sebelum kejadian mengerikan itu terjadi tepat di depan matanya. Ia menjerit, refleks menunduk sambil memejamkan mata dan menutup kedua telinga.

Tidak. Flower tidak bisa melihatnya.

"I--bu, tangan aku sakit banget .... Tolongin aku, Ayah. Kenapa kakiku gak bisa digerakin?"

Flower menggeleng kuat-kuat ketika suara mengerikan dari masa lalu terdengar begitu dekat dengannya. Tak sadar dia menangis, semakin menenggelamkan muka dalam lipatan kedua lutut.

"Bu--bukan, bukan aku yang membunuhnya ...."

Keadaan jalan raya berubah kacau dan berantakan, menimbulkan kemacetan yang berkepanjangan. Beberapa pengendara terlihat turun dari kendaraan untuk mengecek keadaan korban yang terkapar dipenuhi darah. Lebih banyak yang tampak panik, menjerit ketakutan.

Dalam keadaan sekacau itu, tidak seorang pun yang tertarik dengan keadaan Flower. Gadis itu menangis sendirian, mencoba melupakan sesuatu yang nyatanya sangat sulit untuk dilupakan. Flower benci melihat darah. Flower benci mendengar isak pilu yang menyedihkan. Flower benci dan ingin melupakannya, tetapi sayangnya dia tak bisa.

"Flower, kenapa? Apa ada yang terluka?"

Saat sentuhan pada bahunya terasa semakin kuat, ia pun mengangkat kepala. Pikirnya dia akan dipertemukan dengan tubuh luka dipenuhi darah. Atau isak tangis dari korban yang saat ini masih belum bisa dikeluarkan dari mobil yang terguling di tepi jalan.

Namun, tidak. Seorang laki-laki yang entah kapan berjongkok di sebelahnya tampak menatap cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Flower, bertanya tanpa henti dengan suara nyaris tinggi.

"Jawab, Flower! Jangan diam aja! Apa ada yang terluka?"

Flower memanggil nama si lelaki dengan suara bergetar dan berkata, "To--long bawa aku pergi ... dari tempat ini."

* * *

"Lo lagi di mana?"

"Pustaka. Kenapa?"

"Buruan ke kantin. Flower syok berat dan gue lagi sama dia."

Tak perlu meminta dua kali, Lion bergegas mematikan panggilan. Samuel yakin, saat ini Lion luar biasa cemas karena kabar yang ia berikan.

"Nih, minum dulu. Biar keadaan lo sedikit lebih tenang."

Sudah hampir lima menit, tetapi Flower tidak menunjukkan respons sama sekali. Sementara itu, di sebelahnya Samuel hanya bisa menghela napas pasrah. Dia meletakkan botol air mineral ke atas meja lalu menyapu semua arah. Dan, Lion belum ditemukan.

"Sabar, ya. Lion bentar lagi ke sini."

Di tengah-tengah mahasiswa yang sedang menikmati sarapan, Lion akhirnya muncul dengan tas di tangan.

Samuel pun berdiri, mempersilakan Lion untuk mengisi kursinya yang terletak di sebelah Flower. Samuel tahu, bukan dirinya yang bisa membuat Flower buka suara. Bukan dia yang Flower butuhkan ataupun inginkan.

20.12 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang