22. Kamar Nomor 37

35 9 0
                                    

Selain bisa membuatmu bahagia, aku juga bisa mencintaimu selamanya.

* * *

"Baru sehari saya minta ditemenin, tapi muka kamu udah sekusut itu. Ternyata kamu pemalas juga, ya, Sagara."

Lion yang saat itu sedang termenung dengan ponsel di tangan lantas mendongak. Kedua netra gelapnya sontak bertembung dengan mata Johan yang detik itu nyaris memicing ketika menatapnya. "Enggak, Om Jo. Aku bukannya malas nemenin Om di sini. Cuma──"

"Cuma saat ini kamu terpaksa melakukannya. Bener, 'kan?"

Hah ....

Lion menghela napas dalam hati. Seminggu terbaring di rumah karena sakit, nyatanya membuat laki-laki yang berumur di ujung enam puluh tahunan ini sedikit lebih sensitif. Lion bangkit dari sofa usai meletakkan ponsel di atas meja kaca. Dengan langkah kaki yang tidak bersuara, dia berjalan dan berhenti tepat di samping ranjang. "Om Jo mau minum? Biar aku ambilin."

"Gak perlu ngalihin pembicaraan, Sagara. Saya tau kamu gak tulus melakukannya," ketus Johan sambil memalingkan kepalanya ke lain arah.

Lion mengusap wajah lalu sedetik kemudian menyugar rambutnya dengan satu tangan. Malam ini, fokus pikirannya tengah berkelana ke mana-mana. Dia bukan hanya sedang memikirkan kesehatan Johan yang menurun. Akan tetapi, dia juga tengah memikirkan Flower yang entah sedang apa di luaran sana. Singkatnya, Lion mencemaskan dua hal penting sekaligus.

"Flower datang ke bar malam ini karena harus memenuhi undangan seorang teman. Tempat itu terlalu asing buat dia hingga aku cemas tentang hal itu. Jadi, Om berhentilah mengatakan kalau aku malas dan enggak tulus menemani Om di sini."

Mendengarnya sontak membuat Johan memutar kembali posisi kepalanya. Kali ini, kedua matanya membesar tak percaya. Hingga saat dia sadar bahwa putra dari mendiang adik laki-lakinya itu tengah mencemaskan keadaan seorang gadis bernama Flower, barulah Johan melembutkan wajah dan terkekeh kecil diawal kalimatnya. "Kalau gitu sedang apa lagi kamu di sini? Kamu gak harus menjadi laki-laki bodoh dengan terus berdiam diri, Sagara. Temui gadis itu dan pastiin dia baik-baik saja. Sana, pergi!"

"Eh?" kening Lion berkerut, menciptakan riak halus di atas kedua alisnya, "Tapi, Om Jo gimana? Siapa yang bakalan jagain Om di sini kalau aku pergi?"

"Saya gak bakalan langsung mati karena gak ada yang nemenin, Sagara. Pergilah!" tertawa sejenak ketika menemukan raut wajah Lion berubah heran, "Saya akan menelfon Derry untuk segera ke sini. Saya pikir, kamu juga perlu waktu untuk urusan hatimu itu. Bukankah Flower adalah satu-satunya gadis yang selalu muncul di instastory-mu itu, hm?"

Ditanya begitu, Lion refleks meringis dan memalingkan wajah ke lain arah. Ada semburat panas yang seketika menjalari tubuhnya dengan cepat. Menimbulkan degup jantung yang tak beraturan, hingga ke desir darah yang mengalir deras di bawah kulitnya. Rasa tak nyaman karena ditatap Johan semakin bertambah lantaran pria itu menertawai dirinya dengan keras. Beruntung, Lion diselamatkan oleh deringan ponselnya di atas meja.

"Halo, Mas Bara. Kenapa?" Suara dentuman musik dan teriakan banyak orang bersahut-sahutan di seberang sana. Terdengar ramai dan berisik, membuat Lion perlu menajamkan pendengarannya untuk mendengarkan Bara berbicara.

"Gimana? Suara lo masih gak jelas di gue, Mas." Sialnya, Lion masih belum bisa mendengarnya dengan baik. Suara Bara masih terlalu lemah untuk melawan musik yang sengaja diputar dengan keras oleh pemainnya. Hingga tak lama kemudian, kebisingan yang sama sekali tidak Lion sukai pun perlahan memudar di telinganya. Bara sepertinya telah mengambil langkah untuk menjauh dari keramaian.

Kali ini──sewaktu Bara berbicara kembali──maka Lion sudah dapat mendengarnya dengan lebih jelas dan terang. Hingga ketika kalimat tersebut berhasil Bara selesaikan, sontak jantung Lion berdetak tidak karuan. Ekspresinya berubah tegang seiring dengan napas yang tumpang tindih dengan tidak beraturan. Malam ini, Lion menemukan jawaban dari setiap rasa khawatirnya. Dia akhirnya tahu tentang apa saja yang tengah Flower lakukan di dalam gedung sana. Dia menggenggam udara, membiarkan urat-urat tercetak dengan jelas di bawah kulit tangannya. Seiring dengan gemelatuk giginya yang mulai terdengar, Lion pun berkata, "Gue ke sana sekarang."

20.12 Where stories live. Discover now