27. Aku Itu Sampah

29 5 0
                                    

Sebegitu sampahnya kah aku di mata dunia?

***

Jika ditanya apa makanan kesukaan Brianna? Maka pasti jawabannya adalah semangkuk sup hangat buatan Flower Edelweiss. Seperti pagi ini, seolah menjadi kewajiban tak tertulis untuk Flower. Ketika Brianna sakit, maka Flower akan selalu hadir walau hanya sekadar membuatkan semangkuk sup yang wanita mungil itu inginkan. Flower tak pernah sekalipun merasa terpaksa pada kewajiban barunya. Malah ia merasa bangga. Setidaknya, ada satu orang di dunia yang senantiasa masih menginginkan kehadirannya.

Selesai mengantar sup hangat ke kamar wanita tersebut, Flower tak langsung berangkat ke kampus. Ia perlu membereskan peralatan masaknya terlebih dahulu. Mencucinya lalu meletakkan pada tempat semula. 

Flower tahu betul bahwa setiap barang milik bundanya yang telah ia gunakan, maka benda tersebut harus kembali seperti saat sebelum ia menggunakannya. Singkatnya, wanita mungil ini sangat mencintai kerapian.

Lima menit kemudian, pekerjaan singkat itu telah ia selesaikan dengan sempurna tanpa cela. Tepat ketika tubuhnya berputar, Flower seketika dibuat kaget dengan sosok Aurin yang berdiri terlalu dekat dengan tubuhnya. "Ya ampun ...," mengelus dada dan menghela napas lega, "Ngagetin aja, sih, Mbak?"

"Aku malah lebih kaget liat keadaan kamu, Flow!" Aurin berkacak pinggang dengan kedua mata terbelalak. "Ini kamu habis diapain, sih, Flow? Kok, lengannya bisa biru-biru gitu? Terus jalannya juga kenapa sampai pincang begitu? Jangan bilang kalau kamu jatuh di kamar mandi lagi? Iya?"

Flower meringis. Dalam hati, ia merutuki kecerobohannya yang melepaskan kardigan sewaktu hendak mencuci piring. Padahal baju berbahan rajut itu ia pakai guna untuk menutupi luka-luka tak wajar yang ada di tubuhnya. Melihat Aurin semarah itu, membuat Flower refleks berpikir untuk mencari alasan lain. "I─iya. Malam tadi aku kepeleset ... lagi."

"Ck," Aurin berdecak dan selangkah mendekat, "Jangan bohong, ya. Ngaku gak kamu? Luka-luka ini aneh banget, Flow. Kaki kamu pincang, lengannya lebam, terus dahinya juga luka. Kamu beneran kepeleset atau baru aja dipukulin, sih?"

"Mbak──"

"Ngaku gak? Ini ulahnya Om Harry, 'kan?"

Embusan napas pun akhirnya lolos begitu saja. Flower mengalah, memberanikan diri untuk menatap Aurin tepat pada matanya. Setelah menelan ludah untuk membuat tenggorokannya basah, ia pun memberikan jawaban terbaik menurut dirinya. "Harusnya emang gitu, ya, Mbak? Sia-sia aja aku bohong kalau akhirnya kamu bakalan tau juga." Sesaat kemudian, Flower tampak terusik oleh kicauan burung-burung yang berterbangan di langit di luar sana. Manik mata yang dipayungi oleh bulu-bulu lentik itu tampak berkedip sekali sebelum akhirnya kembali berkata, "Iya, Mbak, ini ulahnya dia," Flower mengaku tanpa ragu, "Tapi, aku mohon jangan bilang tentang ini ke Bunda, ya? Aku gak mau Bunda ambil pikiran tentang keadaan aku."

Aurin berdecak dan membuang mukanya ke lain arah. Dengan perasaan yang disesaki rasa kesal, ia berkata, "Harusnya kamu gak boleh diam aja kalau dia sakitin kamu lagi, Flow. Lain kali kamu tendang, tuh, tulang keringnya. Biar dia mampus sekalian."

Flower tertawa kecil, tak ingin menanggapi perkataan Aurin lebih lanjut lagi. Namun, pembahasan itu sepertinya tidak akan berakhir hanya sampai di sana. Di antara tumpukan pikirannya, Flower menemukan sebuah hal yang sangat menyakitkan ketika diingat. Akan tetapi, sewaktu langit hampir sepenuhnya terlihat cerah dan lampu-lampu jalan di luar sana otomatis dimatikan, Flower pun kembali terdengar mengeluarkan suara. Ucapnya, "Kata Om Harry, aku itu anak pembawa sial. Anak yang penuh dengan kutukan. Aku berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi kenapa rasa-rasanya yang dikatakan om itu semuanya benar, ya, Mbak?"

20.12 Where stories live. Discover now