36. Egois

29 8 17
                                    

Aku adalah tangis
Aku adalah luka

Dan kamu ... adalah penyebabnya

* * *

"Seneng gak?"

Flower menoleh, senyum manis terbit di bibirnya. "Lebih ke lega, sih. Tenang. Nyaman."

Lion mengangguk setuju. Ungkapan Flower juga berarti sama dengannya. "Laut emang setenang dan senyaman itu. Makanya aku lebih suka ke sini."

"Karena gak ada belalangnya, 'kan?"

Lion mendelik tajam, sedangkan Flower malah tertawa-tawa tak jelas.

Tatapan keduanya lantas tertuju ke arah laut lepas. Beberapa perahu nelayan tampak berlayar, menjauh dari tepian.

"Lion."

"Hm?"

"Foto, yuk!"

"Waktu itu, kan, udah."

"Tapi, foto kita berdua masih dikit banget tau. Belum bisa kalahin fotonya aku sama Mas Genta."

Lion tersenyum tipis dan bertanya, "Jadi niatnya mau ditandingin, nih?"

"Bukan mau ditandingin. Tapi, aku mau kasih liat ke Mas Genta, sewaktu gak ada dia, ada kamu yang terus sama aku."

"Tunjukin rasa yang lo punya secara perlahan."

Adalah kalimat pertama yang terngiang di kepalanya sewaktu Flower selesai bicara. Lion berpikir, haruskah dia menuruti saran dari Samuel? Atau jika tidak, akankah dirinya terus membiarkan perasaan ini tertahan di hatinya? Tertinggal karena gagal diutarakan.

Alhasil, pilihan Lion jatuh pada opsi pertama. Dirinya akan mengambil langkah berani. Seberani lengannya yang merangkul tubuh kecil Flower agar makin rapat dengannya.

"Kalau Genta gak pulang, kira-kira aku bakalan bisa gantiin tempatnya dia di hati kamu gak?"

Baru saja Flower akan membuka mulut setelah terdiam selama beberapa saat, seseorang terdengar menyapa Lion dari arah belakang.

Begitu keduanya berbalik, tampak Avery yang dengan anggun berjalan ke arah mereka. Senyum di bibirnya terpahat indah. Seindah rambut hitam panjangnya yang dimainkan angin dengan mesra.

"Sorry ganggu," ucap Avery saat Flower dengan jelas memasang ekspresi kesal, "Tapi, gue perlu bicara sama Lion. Cuma berdua."

Lion merasakan pergerakan Flower di sebelahnya. Dan, sebelum gadis itu benar-benar menjauh demi menuruti permintaan Avery, cepat saja ia mencari tangan Flower untuk kemudian digenggam seerat yang ia bisa. "Mau bicara apa?"

"Tapi──"

"Waktu gue gak banyak," sela Lion bahkan sebelum Avery menghabiskan kalimatnya.

Avery tampak keberatan. Manik matanya terus menatap genggaman Lion dengan tajam. Namun, bukan Avery namanya jika gadis itu tidak langsung mengubah raut wajahnya menjadi kembali ramah, kembali manis seperti biasa.

"Gue mau ngucapin makasih. Lagi-lagi, lo udah mau nolongin gue." Avery menarik napas lalu mengembuskannya dengan teratur. "Gue suka sama lo, Lion. Bukan semata-mata karena lo baik atau pintar. Tapi, juga karena──"

"Cukup, Avery!" Lion berkata tegas, "Lo bahkan udah tau jawabannya sebelum gue bicara dengan jelas. Jadi, tolong. Berhenti."

"Bahkan buat berharap pun?" Avery tertawa kecil saat Lion atau Flower tidak menemukan bagian lucu pada pertanyaannya. Namun, sedetik kemudian, air mata Avery mengalir dengan sendirinya. Hatinya dibuat patah secara bersamaan. "Kenapa, sih, Lion? Apa karena Flower makanya lo nolak gue?"

Flower melotot. Tak paham mengapa namanya sampai dibawa-bawa dalam obrolan mereka.

"Seharusnya sebelum lo nyuruh gue berhenti sama perasaan ini, lo kontrol dulu perasaan lo ke Flower. Lo adalah orang yang cuma dibutuhkan sesaat. Lo gak diharapkan. Suatu hari nanti, lo juga bakalan dibuang. Jadi, kenapa lo harus sebegitu repotnya mempertahankan perasaan itu, Lion? Lo bisa lari ke hati lain. Lo bisa menemukan kebahagiaan di tempat lain."

"Maksud kamu apa, Ver?" Akhirnya Flower bertanya. Lelah sudah hatinya menerka-nerka maksud dari perkataan Avery sebenarnya.

"Jangan berlagak sok polos atau sok bodoh, Flower. Lo itu adalah cewek paling egois yang pernah ada di muka bumi ini. Lo serakah, menginginkan semua lelaki bertahan sama lo aja. Padahal lo udah punya pacar, tapi kenapa Lion malah lo tarik juga, hah? Lo gak sadar kalau lo itu gak pantas buat semua orang? Lo ditinggalin gitu aja sama Genta. Gak ada kabar. Menghilang tanpa alasan. Apa belum puas lo sama dia? Sampai Lion pun──"

"Avery!"

Lion berteriak marah. Beruntungnya, suara tinggi itu tidak berakhir sia-sia.

Avery terdiam, sedikit tampak ketakutan. Tak berani untuk melanjutkan pembicaraannya, akhirnya dia pergi begitu saja.

"Flow, kamu baik-baik aja, 'kan?"

Flower menatap Lion, tersenyum tipis. "Ayo, kita pulang."

Lion menghela napas lalu mengikuti Flower yang berjalan lebih dulu darinya.

Dalam perjalanan pulang, baik Lion maupun Flower tak ada satu pun yang tertarik untuk mengawali pembicaraan. Keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, mobil yang dikemudikan Lion berhenti tepat di depan rumah Flower. Akan tetapi, si pemilik rumah malah tertidur dengan kepala bersandar pada jendela mobil.

Lion mengusap kepala Flower dengan lembut. Sebisa mungkin mengusahakan agar Flower tidak terjaga begitu saja. Saat ini, Lion ingin memandangi keindahan ciptaan Tuhan lebih lama dari semestinya. Lion ingin menikmati setiap detik, mencecap rasa cinta yang terlalu lama mengendap dalam hatinya.

"Semua yang dikatakan Avery itu gak benar, Flower. Kamu gak egois. Kamu gak serakah. Kamu pantas dan berhak bahagia. Jangan terlalu dipikirkan lagi, ya. Avery bilang gitu karena dia mau ada di posisi kamu. Dicintai dan disayangi oleh banyak orang."

Gerakan tangan Lion berpindah. Menyeka sudut mata Flower yang tampak basah. Gadis ini menangis sejak dalam perjalanan tadi. Dan, Lion tahu itu.

"Eh," Flower membuka mata dan terkejut saat mengetahui bahwa mereka sudah tiba di rumahnya, "Aku ketiduran, ya? Kenapa gak dibangunin?"

"Baru aja mau dibangunin," jawab Lion singkat sambil menatap ke arah rumah Flower, di mana banyak bunga-bunga dan tumbuhan lain ditanami di sana.

"Aku masuk dulu kalau gitu. Soalnya habis ini harus ke toko lagi."

"Mau ditungguin? Biar bisa dianterin?"

"Gak usahlah. Aku bisa sendiri. Lagian Wira udah gak di sini. Jadi, gak ada yang gangguin aku lagi," jelas Flower sambil tersenyum simpul. Sesaat kemudian, manik matanya mengarah ke rambut Lion. Senyumnya terukir makin lebar.

"Kenapa senyum gitu? Ada yang aneh?" tanya Lion dan Flower langsung menganggukkan kepala.

"Tumben banget rambutnya rapi gitu? Ada angin apa?"

"Emang iya?" Langsung saja Lion mengarahkan cermin mobil ke arahnya. Dan, benar saja. Dibandingkan hari-hari biasa, kali ini rambut Lion tampak lebih rapi.

"Sengaja disisir?" Flower bertanya lagi. Akan tetapi, kedua matanya sontak dibuat membola ketika Lion yang dengan sengaja mengacaukan kerapian rambutnya. "Kok ...?" Flower menggeleng saat dirinya gagal menemukan kalimat yang pantas diutarakan untuk menggambarkan rasa tak percayanya.

"Rapiin, dong, Flow," pinta Lion bersama senyum lebar yang terukir manis di bibir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

20.12 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang