31. Bertamu

28 6 10
                                    

Ini tentang kisah masa lalu. Jadi, dengarkan baik-baik.

* * *

Sebuah toko dengan papan nama bertuliskan AyuAnna Florist berdiri dengan gagah di hadapannya. Sendirian, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan tenang. Datang ke tempat ini dan bertemu dengan gadis itu adalah pilihan terakhir yang ia punya. Dia berusaha santai. Membujuk hatinya untuk yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat.

Begitu ia membuka pintu toko, lonceng kecil yang tergantung lantas berbunyi. Suara itu tak hanya membuat gadis yang berada di dalam toko mengangkat kepala, tetapi juga membuat tatapan mengarah ke arahnya.

"Lo, Lion? Mau nyari Flower, ya? Dia belum dateng, sih. Masih di rumah kayaknya."

"Oh, gue ke sini mau nyari lo, kok," jawab Lion tanpa menunggu jeda.

"Mau nyari gue?" Aurin terlihat bingung, "Okay, wait." Gadis itu meninggalkan pekerjaan merangkai bunga untuk kemudian datang ke arah Lion. Bersama gerakan tangannya, ia menyuruh Lion untuk duduk pada sebuah kursi kayu dengan meja bundar berwarna putih yang menjadi pemisah di antara mereka. "Kenapa tiba-tiba lo mau nyari gue?"

Obrolan dimulai. Sebelum benar-benar membuka suara, Lion terlebih dahulu memperbaiki cara duduknya. Usai dirasa nyaman, ia pun memutuskan untuk mengawali kata dengan pertanyaan, "Lo tau sesuatu gak tentang luka-luka yang Flower dapetin di tubuhnya?"

"Luka-luka?" ulang Aurin dengan kening berkerut dalam.

"Iya," angguk Lion mantap, "Akhir-akhir ini, gue sering banget liat Flower terluka. Entah itu di dahi, pipi, sudut bibir, tangan, bahkan kaki. Kadang lukanya berdarah, kadang semacam goresan, atau kadang cuma lebam. Gue udah nanya ke dia tentang ini, tapi jawabannya selalu sama. Kalau bukan karena jatuh, ya, pasti kepeleset. Tapi, gue gak yakin sama jawaban itu. Dan, lo adalah pilihan terakhir yang bisa gue harepin buat dapatin jawabannya."

"Em ... gimana, ya?" Aurin bimbang lalu menggaruk kepalanya sebentar. Di saat pikirannya menolak untuk menjawab, hatinya malah berkata sebaliknya. Pada dasarnya, dia menyadari bahwa Flower akan merasa kesal jika seandainya ia benar-benar membongkar semuanya. Baiklah, Aurin akan memberikan alasan agar Lion tidak lagi bertanya-tanya. Namun, saat ia mengangkat kepala dan tatapannya bertembung dengan manik kehitaman yang Lion punya, hatinya mendadak menjerit dan menyuruhnya untuk mengatakan hal yang sebenarnya.

"Lo pasti tau, kan, jawabannya? Please, dijawab, Mbak. Gue khawatir banget sama keadaan Flower, tapi gue gak bisa maksa dia buat ceritain masalahnya."

"Lo bener," dan pilihan Aurin akan selalu jatuh pada hatinya, "Gue emang tau jawabannya." Setelah ini, Aurin siap akan segala hal yang terjadi padanya. Dia siap menerima konsekuensi dari setiap perkataannya. Entah nantinya Flower akan marah, kesal, atau kecewa padanya. Karena baginya, membagi masalah ini kepada Lion adalah pilihan yang benar. Siapa tahu laki-laki ini mampu membujuk Flower untuk kembali tinggal bersamanya dan Bunda.

Semua ini demi kamu, Flow. Aku mohon nanti kamu marahnya gak lama banget, ya, sama aku?

* * *

"Jadi, Mbak Aurin yang kasih tau tentang Om Harry ke kamu?"

"Aku yang maksa, sih, sebenarnya. Jadi, kalau mau marah, marahnya ke aku aja, ya? Jangan ke dia."

Flower tertawa kecil, menatap telapak tangan yang kini sudah selesai diperban. "Makasih, ya," ucapnya terlebih dahulu atas bantuan Lion, "Aku gak marah, kok. Semua ini terjadi karena kalian berdua sama-sama mencemaskan keadaan aku."

20.12 Where stories live. Discover now