17. Yang Paling Pantas

33 10 0
                                    

Tak semua hal yang diinginkan harus kaudapatkan. Beberapa hal mungkin perlu kauikhlaskan. Beberapa hal lagi terkadang harus kaulepaskan. Bahkan, beberapa di antaranya lagi harus benar-benar kaulupakan.

* * *

"Ck, padahal hari ini aku free, lo, Flow. Tapi, sama bunda masih aja disuruh keluar. Anak gadis gak baiklah terus-terusan ngurung diri di kamar. Anak gadis gak baiklah kalau masih suka malas-malasan. Hadeuh, padahal seminggu yang lalu aku baru aja tempur-tempuran sama tugas dan setumpuk jurnal."

Flower terkekeh di ujung kalimat yang baru saja Aurin katakan. Melihat sang gadis yang hari ini masih mengenakan kaus abu-abu dengan celana training selutut, membuat Flower geleng-geleng kepala karenanya. "Itu mata, kok, bengkak, Mbak? Malam tadi abis nangis, ya?" Alih-alih lanjut mengomentari ocehan Aurin tentang omelan sang ibu, Flower malah lebih tertarik untuk menanyakan perihal keadaan Aurin.

Ditanya begitu, Aurin hanya bisa melengos napas panjang dan menatap ke arah pintu dengan bel kecil yang menggantung di atasnya. Ini masih jam 10 pagi dan keadaan toko masih sepi dari serbuan pelanggan. Dia hanya tahu bahwa Flower baru saja mendatangi tempat ini usai pagi-pagi tadi sempat izin pergi entah ke mana. Dan, karena pertanyaan yang baru saja dilontarkan, Aurin akhirnya kembali mengingat tentang penyebab kekacauan hatinya malam tadi.

"Malam tadi, aku bertengkar sama Barli, Flow. Ini berawal karena kita gak sengaja nyinggung tentang keinginan di masa depan. Barli bilang, selepas nikah nanti dia maunya aku duduk diam di rumah, jadi ibu rumah tangga seutuhnya. Tapi, kan, kamu tau reaksi aku bakalan gimana, Flow. Aku jelas nolaklah. Mana mau aku disuruh duduk diam aja di saat aku masih ingin menjadi wanita karier dengan prestasi yang gemilang."

"Karena itu kalian bertengkar?"

Aurin mengangguk yang sedetik kemudian tampak menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Untuk kesekian kalinya ia menghela napas berat yang terlalu sulit untuk dijelaskan. "Aku harus gimana, Flower? Gimana?"

Melihat itu, Flower juga ikut menampakkan raut cemas. Dia sangat tahu bahwa Aurin adalah tipikal cewek yang tidak suka dikekang. Sementara itu, Barli adalah laki-laki yang mudah cemas dan khawatir dalam berbagai hal. Mungkin menurutnya, dengan meminta Aurin menjadi istri dan ibu sepenuhnya, maka secara tak langsung dia telah menjaga Aurin dari berbagai bahaya di luar sana. Flower juga tahu bahwa keputusan itu hadir karena Barli terlampau mencintai Aurin. Dia takut membiarkan gadisnya bebas. Yang pada akhirnya, membuat si keras kepala ini marah dan meneteskan air mata.

"Mbak, aku gak tau mau kasih saran apa buat masalah ini. Berada di fase kalian aja aku belum pernah. Takut salah kasih masukan nanti."

Aurin mengangkat kepala, memperhatikan Flower sebentar lalu mengangguk dalam-dalam. "Pagi-pagi tadi kamu ke mana? Kalau gak salah, aku sempat liat kamu jinjing rantang."

Saat itu Flower hanya bisa cengengesan seraya menggaruk dagunya yang mendadak gatal. Alhasil, memori yang bermaksud untuk disimpan pun kemudian dibuka dengan perlahan olehnya. Flower menceritakan semuanya kepada Aurin. Tentang bagaimana kasarnya ucapan dia yang meminta Lion pergi lalu tentang baiknya hati sang laki-laki yang senantiasa membuka pintu maaf untuknya lagi. Tak ada satu pun bagian yang Flower tutupi. Hingga pada akhirnya, membuat Aurin berdecak kesal lalu mencubit lengan Flower dengan gemas. "Ya ampun ... sakit, Mbak. Kok, main cubit-cubit aja, sih?" protes Flower tak santai sambil mengelus lengannya yang terasa panas.

"Kalau ikut kata hati, mau rasanya aku tempeleng kepala kamu itu," cetus Aurin lebih tak bersahabat, "Heran aku sama kamu. Gak malu apa udah ngusir anak orang lalu secepat itu meminta dia kembali? Padahal apa yang Lion omongin itu benar, lo, Flow. Dasar kepala batu."

20.12 Where stories live. Discover now