30. Terlalu Sayang

29 8 22
                                    

Aku pernah sesayang itu padanya. Hingga akhirnya aku tau. Bahwa rasa itu, mampu menciptakan luka sesakit itu.

* * *

Minggu pagi yang cerah. Selesai mandi dan membereskan tempat tidur, Flower keluar kamar untuk kemudian langsung menuju ke arah dapur. Sedari tadi dirinya sudah membayangkan tentang nikmatnya meneguk segelas teh hijau dengan kukis yang dibuatnya malam tadi. Namun, gerakan tangan yang hendak mengambil teko untuk digunakan sebagai alat menjerang air seketika terhenti begitu saja. Kepalanya berputar ke arah kiri tepat ketika pintu rumahnya digedor dari luar. Segera saja, ia meninggalkan teko hanya untuk berlari ke arah pintu. Dengan tergesa-gesa, ia mencoba memutar kuncinya. Benda tersebut berhasil terbuka dan sebuah sosok berambut panjang dengan gaya awut-awutan lantas melintas di depannya.

"Ngapain aja, sih, kamu? Bukain pintu aja lama banget."

Flower menelan ludah, terlalu takut untuk menatap pria yang tengah melotot ke arahnya. "Maaf, Om. Tadi Flower habis dari dapur."

"Ck," Harry berdecak, "Ambilkan saya minuman!"

Flower mengangguk patuh dan sekali lagi berlari ke arah dapur. Terlihat ia menuangkan air ke dalam gelas lalu bergegas menghampiri Harry yang sudah menjatuhkan tubuhnya pada sofa. "Ini minumnya, Om."

Melihat apa yang Flower berikan untuknya, Harry sama sekali tidak tertarik untuk mengambilnya. Dengan gerakan yang begitu cepat, ia menepis benda tersebut hingga membuatnya pecah dan menimbulkan suara yang cukup nyaring. Flower terkejut, refleks menutup mulut saat Harry lagi-lagi bersikap kasar. kepadanya.

"Bukan minuman ini yang saya minta, bodoh!" Pria itu akhirnya berdiri. Dengan kedua mata yang selalu tampak merah dan sayu, Harry menekuri wajah Flower yang terlihat begitu ketakutan. "Jangan bilang kalau minuman saya, lagi-lagi kamu buang?"

Flower mendongak di ujung kalimat yang pamannya ucapkan. Dia mencoba untuk terlihat kuat, memberanikan diri membalas tatapan Harry sebisanya. Menggunakan tangan tak kasat mata, Flower berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa entah di sudut mana. Hingga saat beberapa pecahan itu ia temukan──saat ia sudah merasa kuat──barulah Flower menganggukkan kepala.

Dan, ya, tamparan itu lagi-lagi ia dapatkan. Wajah Flower spontan terempas ke arah samping. Gerakan tangan sang paman yang teramat kuat, seolah membuat Flower merasa bahwa kepalanya akan lepas dari tempat seharusnya. Dua detik kemudian, air mata Flower resmi mengalir seiring dengan rasa perih dan denyutan pada pipinya.

"Bangsat! Otak kamu ada di mana, hah! Kamu pikir, saya beli minuman itu gak pakai uang? Kamu pikir, minuman itu gak mahal?" Harry benar-benar marah sekarang. Ia mencengkeram pipi Flower. Melotot dan dan menggertakkan giginya dengan kuat.

"Flower cuma gak mau Om Harry mabuk-mabukkan lagi! Flower gak mau liat Om Harry pulang dalam keadaan gini lagi! Flower sayang sama Om Harry──"

"Saya gak butuh rasa sayang kamu, bodoh! Dasar anak pembawa sial. Kalau bukan karena saya butuh, saya gak sudi pulang ke sini lagi." Sekali lagi, Harry menampar Flower hingga membuatnya terjatuh ke lantai. Yang pada saat itu, dirinya refleks menggunakan telapak tangan untuk menahan tubuh. Malang bagi Flower. Bukannya terselamatkan, dirinya malah dibuat semakin terluka oleh beling yang tertancap pada telapak tangan.

Rasa sakit dan panas pada pipinya seketika menjalar ke tangan. Rasa itu tak berhenti. Terus berjalan hingga ke hatinya. Membuatnya terasa penuh dan sesak dalam waktu bersamaan. Di pagi yang cerah ini, Flower kembali mengizinkan air matanya untuk mengalir. Dia melupakan tentang bagaimana nikmatnya meneguk teh hijau di pagi hari. Dia melupakan tentang renyahnya kukis buatan sendiri. Bahkan, dia juga melupakan tentang kebahagiannya diri.

20.12 Where stories live. Discover now