Chapter 5 : Sumbu

36 12 1
                                    

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.


Langit sudah semakin gelap waktu motor yang aku dan Jeno tumpangi sampai di depan rumahku. Begitu mesin motor dimatikan, aku buru-buru turun, dari jok. Kusempatkan tersenyum pada Jeno sebagai tanda terimakasih. "Terimakasih sudah mau mengantarku, Jen."

Aku mengecek jam di tanganku, kemudian mengembalikan tatapan pada Jeno. "Mau masuk dulu?" tanyaku basa-basi.

Jeno mengangguk. "Boleh. Aku mau minta minum."

Aku mengulum bibirku. Jeno frontal sekali, padahal biasanya orang bakal malu-malu kalau mau minta suguhan pada pemilik rumah, apalagi kami tidak sedekat itu. "Masuklah."

Aku membawa Jeno ke ruang tengah, mempersilahkan lelaki itu duduk di sofa. Melihat Jeno yang duduk di sana dengan santai seperti sudah biasa ke mari, aku jadi teringat Bomin. Dulu, Bomin yang bakal mengantarku pulang, lalu mampir sebentar untuk minum dan duduk di sofa itu. Persis dengan Jeno sekarang.

"Ryucelle."

Lamunanku terhenti seketika waktu Jeno memanggil. Aku menoleh padanya dengan seutas senyum tipis. "Ah, maaf. Kau mau minum apa?"

"Kau punya kopi?"

Aku mengangguk. "Kopi instan?"

"Yah, kalau kau punyanya itu juga tidak apa-apa." Jeno mengambil ponsel dari saku celananya. Mungkin dia mau bermain game sembari menungguku membuat minum.

Sebelum benar-benar pergi dari tempat itu, kusempatkan menatap presensi Jeno sekali lagi. Entah kenapa semakin dilihat, Jeno makin membuatku merindukan Bomin.

Setelah selesai menyiapkan minuman untuk Jeno dan untukku sendiri, aku kembali ke ruang tengah. Kuletakkan minuman kami di atas meja sebelum menyusul duduk di sofa lain menghadap Jeno.

Lelaki itu mengantongi ponselnya. Tangan milik Jeno beralih meraih cangkir di atas meja. Menyesap pelan-pelan isi cangkir itu hingga isinya tinggal separuh.

"Apa Bomin dulu sering ke sini?" Lelaki Lee itu tiba-tiba bertanya.

Kuanggukkan kepalaku pelan. "Iya, dulu Bomin sering ke mari."

Jeno meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. Aku memang tidak memperhatikan ke mana tatapan mata Jeno, tapi rasanya pemuda itu seperti sedang menatap ke arahku. Waktu kuputuskan untuk menyesap minuman milikku, mendadak Jeno berucap dan refleks membuat gerakanku terhenti. "Apa kau tidak merasa ini semua aneh?"

Kuselesaikan kegiatanku sebelum merespon Jeno. "Maksudmu?"

Jeno menggedikkan bahunya. "Yah, aneh saja, masa Bomin hilang tiba-tiba dan tidak ada jejak sama sekali. Dia diculik atau apa, memangnya."

Aku terdiam begitu mendengar jawaban Jeno. Hingga lelaki itu meraih tasnya dan menandaskan minumannya, aku masih diam. Kenapa Jeno bicara begitu? Bukankah sudah jelas kalau semua ini memang aneh, makannya polisi sampai menyelidiki 'kan? Anak-anak satu sekolah juga tahu.

𝙐𝙣𝙠𝙣𝙤𝙬𝙣。Onde histórias criam vida. Descubra agora