25 | IN LAWS

45K 5.9K 318
                                    

Gie mengenakan gaun satin biru berenda selutut dari Erdem. Galang berjalan di sebelahnya, sedang menarik koper besar Gie serta tas jinjing miliknya sendiri. Mereka bergandengan tangan sambil sesekali tersenyum satu sama lain. Dollar tertidur dalam dekapan Gie. Dari bandara, mereka langsung naik taksi menuju rumah orangtua Galang di bilangan Jakarta Selatan.

Taksi mereka berhenti di depan sebuah pagar kayu besar dalam komplek perumahan mewah. Setelah pintu gerbang terbuka otomatis, Galang meminta supir taksi untuk mengantarkan mereka ke dalam karena jarak dari pagar sampai ke rumah utama cukup jauh.

"Gie kira papa kamu punya bengkel."

Galang mengangguk.

Ingin sekali rasanya Gie bertanya 'usahanya bengkel doang kok rumahnya sebesar ini?', tapi dia urung mengatakannya. Lebih baik dilihat sendiri saja.

Taksi berhenti di depan teras yang terdapat kolam ikan koi serta air mancur. Gie memandang sekeliling, mengamati. Rumah orangtua Galang besar dengan desain arsitektur Jawa kontemporer. Pilar dan daun pintunya terbuat dari kayu jati berukir. Lantainya marmer. Rumah ini bagus.

Tak jauh dari teras, terdapat garasi lebar yang berdiri sebagai bangunan terpisah. Di dalamnya terparkir mobil-mobil keluaran Ford, Rolls-Royce, Alfa Romeo, dan Cadillac. Semuanya bukan keluaran baru. Namun kondisinya amat terawat. Seperti sengaja dimiliki karena nilai keantikannya. Hal itu makin membuat Gie penasaran dengan sosok orangtua Galang.

"Lang? Kok pulang nggak bilang-bilang?"

Seorang laki-laki paruh baya tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka. Rambut laki-laki itu sudah beruban. Kaos putihnya bolong-bolong dan hanya mengenakan bawahan berupa sarung. Satu tangannya membawa gunting rumput besar, sepertinya habis merapikan tanaman bonsai yang tersebar di halaman luas ini. Wajahnya berpeluh.

"Apa kabar, pah? Galang baru dari Swiss langsung kesini." Galang memeluk laki-laki itu erat.

Pah? Ini Papanya Galang?

Gie kira tukang kebun.

Gie mengamati penampilan laki-laki itu dari atas ke bawah. Kalau dilihat-lihat wajah mereka memang ada kesamaan. Sekarang Gie mengerti darimana Galang mewarisi wajah cakep-cakep kalemnya.

"Oh, pantesan." Derry, Papa Galang, mengamati Gie dari ujung kepala sampai kaki. "Ini siapa?" Wajahnya dipenuhi senyum.

"Regie Tan. Istrinya Galang." Galang nyengir kuda. Begitu namanya disebut, Gie langsung mengulurkan tangan kanan pada Derry. Ia menarik sebuah senyum. Bagi orang yang baru kenal dengannya, senyum Gie itu terkesan agak dipaksakan. Bukan karena Gie sengaja. Gie hanya terbiasa mengamati orang yang baru dikenalnya, jadi ekspresinya agak susah dikontrol kalau tidak diingatkan.

"Tan?" Derry mengernyit seraya menerima uluran tangan Gie. "Istri?" Ulang Derry lagi masih tak mengerti. "Regie Tan. Tan Group?"

Gie mengangguk.

Derry familiar dengan Atmodjo Tan dan anak-anaknya. Mereka pernah bertemu beberapa kali di pesta rekan bisnis.

"Kok bisa?" Papa Galang itu menggaruk leher. Persis gaya Galang kalau sedang bingung.

Nggak ada hujan nggak ada angin, tiba-tiba anak sulungnya bawa menantu ke rumah. Ceweknya beda pula! Bukannya beberapa bulan lalu masih pacaran sama Lea?

"Kita ngobrol di dalem, pah. Bunda mana?" Galang menuntun Papa dan istrinya untuk masuk ke dalam rumah. Seorang asisten rumah tangga muncul untuk mengangkut bawaan pasangan itu ke kamar atas.

***

Derry dan istrinya, Mira, sering curi pandang ke arah Gie yang sedang makan. Cewek itu makan sambil menegakkan punggung. Etiket makannya sempurna. Mengunyah dengan pelan tanpa berisik. Tidak menumpu tangan di atas meja. Meletakkan lap di atas pangkuan saat makan, lalu mengelap sudut bibir dengan anggun ketika selesai makan. Begitu makanan porsi kecil dalam piringnya habis, ia meletakkan garpu dan sendok di atas piring kosong dengan rapi. Geser sedikit, Gie langsung membetulkannya.

mechanic&lover [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang