11 | PROPOSAL

49.7K 7.5K 526
                                    

"Saya jemput satu jam lagi, ya?"

Aiden menghentikan mobilnya di depan rumah Mia. Cewek itu mengangguk lalu melompat turun dari mobil.

Mia sudah tidak sabar untuk segera mandi. Badannya lengket dan gatal. Untung bawaannya sedikit, jadi dia tak perlu repot packing. Waktu satu jamnya bisa ia gunakan untuk mandi lama-lama.

"ASSALAMUALAIKUM!" Seru Mia keras-keras saat ia membuka pintu.

Orangtuanya sampai terkejut.

"HABIS DARIMANA PAKEK BAJU BEGITU?" H. Moris langsung menyemprot Mia begitu melihat anak bungsunya baru pulang entah darimana. Pamit pergi saja tidak.

"Habis main. Ke Cempaga." Mia melengos melewati orangtuanya yang berpakaian bagus seperti hendak pergi ke suatu tempat. Mia tidak penasaran mereka hendak kemana. "Aduh, duh!" Mia memekik kesakitan saat satu telinganya ditarik oleh Abah.

"Orangtuamu itu haji, kenapa pergi kemana-mana masih ngumbar aurat kayak gini?!" Abah menunjuk celana jeans pendek dan atasan crop top yang memamerkan sedikit bagian perut Mia.

Mia berhasil melepaskan diri dari jeweran abah. Telinganya sakit sekali. "Panas, bah! Gerah!"

"Ngumbar aurat itu dosa, Mia! Kamu mau abahmu ini nanggung dosamu sampai dicambuk malaikat di akherat sana??"

"Mia pake ini bukan buat pamer aurat kesana kemari, bah! Duh, lebay banget!"

"Ya meskipun! Memangnya kamu tau isi pikiran orang di luar sana kalau lihat bajumu begini?"

Mia memutar bola mata. Ia tahu benar apa maksud Abah. "Bah, tingkat pemerkosaan di Arab Saudi juga tinggi, melebihi negara lain. Padahal baju cewek di sana tertutup semua kayak pake gorden. Mukanya juga dilapisin burka atau cadar. Maksud Mia, yang ngatur pikiran orang terutama laki-laki itu bukan dari gaya berbusana cewek, tapi diri mereka sendiri. Bisa nggak sih, nggak men-stereotipkan semua cewek itu jadi penyebab terjadinya tindakan kriminal?"

"Agamamu itu apa??"

Mia mendengus sebal. Berdebat tentang agama dengan H. Moris tak akan pernah ada habisnya.

"Abah membesarkan kamu agar jadi anak sholehah dan beriman. Apa-apa diturutin. Merantau sekolah di Surabaya diturutin. Uang dikasih. Fasilitas dipenuhin. Giliran urusan begini, membangkang terus! Mau jadi apa kamu hah? Anak sesat??" Lanjut Abah. Emosinya sudah meluap-luap.

"Tapi-"

"Menutup aurat bagi perempuan itu wajib hukumnya! Sekalipun kamu belum berjilbab, pake baju yang sopan! Mau nentang aturan agama, memang kamu siapa?? Kamu itu belum menikah! Dosamu masih abah yang tanggung!"

Mendengar itu, Mia langsung kicep plus mewek. Matanya langsung berkaca-kaca. Dia tidak bermaksud menambah beban pikiran Abah dengan komentar sok tahunya. Karena diliputi perasaan bersalah, ia menarik kaosnya ke bawah agar menutupi perut. Kakinya yang keanginan langsung ia silangkan karena tidak nyaman. Ia merasa salah kostum. Kesalahan kostumnya mengundang jilatan api neraka. Mana bikin Abah murka, pula!

Aduh, dosanya jelas berlipat-lipat.

"Ma-maaf, bah. Mia salah." Suara Mia tercekat di tenggorokan. Ia mengusap wajahnya yang mendadak dibasahi air mata. Matanya panas sekali.

Abah menghela napas. Tanpa berkata apa-apa, beliau langsung pergi keluar.

"Lakas (Cepat) mandi, ganti baju, makan. Mamah sama abah handak ke kawinan (mau ke kondangan) dulu." Hj. Uway mengusap punggung Mia sebelum pergi menyusul suaminya.

Mia baru ingat untuk pamitan pulang ke Surabaya saat mobil Abah lenyap dari garasi.

"Aduh, pamitannya gimana nih?"

trouble [selesai]Where stories live. Discover now