32 | FABERGÉ SI TELUR PASKAH

45.5K 6.8K 996
                                    

Ada yang nungguin?

***

Mia menelan ludah. Ia duduk sambil memeluk kedua lutut di atas kursi.

Sejak tadi ia memandangi Aiden yang berjalan mondar-mandir sambil mengusap wajah, sesekali memandangnya, kelihatan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi-jadi.

Mereka sedang berada di kamar Aiden. Cowok itu menggendongnya sampai sini, seakan dia tidak percaya pada Mia jika ia membiarkan cewek itu berjalan sendiri dengan dua kaki.

Sejak tahu status Aiden di Alois, Anton dan Elsa kelihatan agak menjaga jarak. Dalam sekali lihat, mereka langsung tahu kalau mereka tidak punya tempat untuk ikut campur. Mia menatap mereka dengan pandangan memelas ketika Aiden membawanya seperti karung beras di atas bahu saat turun dari menara. Anton dan Elsa sama-sama tidak berani berkutik. Mereka memasrahkan Mia kepada Aiden.

Mia ingin sekali bicara, tapi setiap mengangkat kepala dan melihat raut wajah serius Aiden, mentalnya langsung ciut. Terjun bebas ke laut.

"Belum sampai sembilan jam saya meninggalkan kamu sendirian, kamu bergelantungan di atas kastil bersama Claire!" Hardik Aiden. Ia menghampiri Mia lalu mengangkat satu tangan ke depan wajahnya, hampir menempelkan ibu jari dengan telunjuk. Jaraknya mungkin hanya satu inchi. "Kalau saya terlambat sedikit, saya pasti sudah kehilangan kamu dan Claire. Selamanya!" Aiden menegakkan tubuhnya lagi, lalu berjalan mondar-mandir, berusaha amat keras untuk menjinakkan api emosi.

Mia menghela napas lesu. Bahunya merosot. "Ya mau gimana lagi..." Gumamnya.

"Apa kamu bilang?!"

"Putri Claire hampir lompat bunuh diri, kebetulan aja saya di sana. Masa saya ngebiarin dia terjun bebas? Kalo mati beneran gimana?"

Aiden mengusap wajahnya dengan frustasi. "Amelia. Amelia. Amelia." Bisiknya berkali-kali, "Kamu ngerti nggak kalau tadi kamu hampir tewas di sana?"

"Tapi saya nggak tewas, om. Nih, buktinya masih napas." Mia menghembuskan napas lewat mulut, berharap keluar asap putih. Dia lupa kalau hawa di Alois sedang tidak dingin. Tidak akan keluar uap dari mulutnya.

"Saya hampir gila karena memikirkan akan kehilangan kamu." Gumamnya masih frustasi.

Mia menurunkan kedua kakinya. Ia bangkit berdiri untuk memeluk Aiden dari belakang, berharap dapat meredakan emosinya. "Om nggak kehilangan saya. Justru karena om, saya selamat. Putri Claire juga."

Aiden menghembuskan napas berat sambil menundukkan kepala. "Saya harus bilang apa ke orangtua kamu? Kalau mereka tau kamu hampir tewas di Alois, astaga..." Aiden mengacak rambutnya.

"Om nggak perlu bilang apa-apa ke mereka."

"Kamu menganggap enteng semua hal."

"Bukan gitu. Tapi untuk apa mikirin hal yang nggak terjadi? Saya selamat. Putri Claire selamat. Semua orang lega. Apalagi yang harus dipusingin?"

"Saya hampir gagal jantung tadi."

Mia melepaskan pelukannya. Ia pindah posisi agar bisa berdiri di hadapan Aiden. Tanpa mengatakan apa-apa, ia mengecup dada kiri Aiden yang tertutup kemeja. Tepat di atas jantung.

"Jantung om baik-baik aja." Mia mendongakkan kepala agar bisa menatap kedua mata Aiden. Ia menyunggingkan senyum termanis yang bisa ia upayakan.

Aiden luluh dengan mudah. Tak sampai hitungan detik.

Cowok itu melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling tubuh Mia yang lebih pendek darinya. Ia menunduk agar bisa menempelkan dahinya ke dahi Mia dan memejamkan mata. Ia perlu merasakan kalau cewek yang berada dalam pelukannya ini sosok yang nyata.

trouble [selesai]Onde histórias criam vida. Descubra agora