50 | CORONATION

67.2K 6.3K 592
                                    

Coronation = Pelantikan

Nggak ada hubungannya sama virus Corona.

***

Mia baru selesai mandi dan sedang mengoleskan lotion ke kakinya saat pintu kamar dibuka. Aiden masuk dengan wajah ditekuk. Ia menyeberangi kamar dengan langkah lebar untuk menghampiri istrinya.

"Ali bilang mereka semua membicarakan hal buruk tentangmu." Ujarnya tanpa basa-basi.

Mia hanya mengangguk singkat, tidak ada gunanya ditutup-tutupi. "Wajar. Saya orang asing bagi mereka."

"Kamu bisa bertindak tegas tanpa menunggu ijin dari saya, chéri." Dahi Aiden berkerut saat mengatakannya.

"Tegas yang bagaimana? Mecat Ny. Adalene dari jabatan ketua yayasan? Atau... ngirim orang-orang yang berkata hal buruk tentang kita berdua ke penjara?"

Aiden mengangguk. Mia spontan memutar bola mata. Ia mendekati Aiden, mengusap dadanya yang terlindung oleh kemeja dan jas. "Itu bukan solusi. Kalau kita melakukan itu, kepercayaan publik ke kita makin rendah." Cewek itu mendongak agar bisa menatap Aiden tepat di kedua mata. Berkat kunjungan hari ini, Mia jadi tahu kalau dirinya dan Aiden bukanlah publik figur terfavorit se-Alois.

"Saya nggak suka mereka membicarakan hal buruk tentang kamu."

Sama, pikir Mia sendu. Dia juga tidak suka kalau ada yang berbicara buruk tentang Aiden.

"Ini konsekuensinya, sayang. Semua orang berhak beropini." Sahut Mia coba menenangkannya. "Apapun yang kita lakukan, pasti ada aja yang ngomongin hal buruk tentang kita. Itu wajar. Kita nggak bisa berbuat apa-apa untuk membungkam mulut mereka. Yang bisa kita lakukan cuma berusaha jaga sikap dan memberi contoh yang baik." Mia merasa jadi munafik karena harus mengatakan ini. Tapi seseorang perlu mengatakannya, kan?

Aiden menghela napas berat.

"Maaf. Saya nggak bisa kasih ketenangan seperti yang kamu mau. Saya harap kamu nggak menyesal nikah sama saya." Kata-kata Aiden membuat hati Mia serasa diremas. Ia berusaha keras untuk tak menangis. Beberapa bulan belakangan memang terasa sangat berat untuknya. Jika ia bisa memilih, dirinya tidak mau jadi Putri.

Aiden menyentuh wajahnya, mengusap sebulir air mata yang jatuh ke pipi. Mia menempelkan dahinya ke dada Aiden, tidak ingin suaminya melihat ia menangis. Ia merasakan kalau puncak kepalanya dikecup. Air mata Mia keluar makin deras. Cewek itu sudah menahan perasaan ini selama berbulan-bulan. Ia tak berniat untuk menyerah secepat ini.

"Maaf, chéri." Bisik Aiden. "Saya nggak bermaksud membuat kamu sedih." Lanjutnya.

"Saya nggak sedih." Mia terisak dengan suara parau. "Saya cuma kangen keluarga saya. Teman-teman saya. Hidup saya. Suami saya. Saya merasa sendirian di sini." Mia mengeratkan pelukannya ke sekeliling tubuh Aiden, menenggelamkan wajah ke dadanya yang bidang. Aiden balas memeluk Mia.

"Saya di sini." Aiden mengusap kepala Mia penuh sayang. "Menangislah. Kamu membutuhkannya. Kamu sudah melakukan yang terbaik sampai hari ini. Saya bangga sama kamu." Aiden merasa buruk karena telah membuat Mia jadi begini. Biasanya emosi negatif selalu Mia keluarkan lewat amarah. Kali ini tidak. Aiden tak suka melihat Mia begitu sedih dan lesu. Seakan tidak ada lagi hal yang bisa membuat cewek itu bahagia. Ini bukan Mia yang dikenal Aiden.

***

Pangeran Bastien memandang Aiden heran ketika sepupunya itu datang ke kamarnya.

"Ini satu-satunya waktu liburmu, kan? Kenapa kesini?" Dan bukan menghabiskan waktu bersama istrimu, lanjut Pangeran Bastien dalam hati. Wajah Aiden tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Namun dari gelagatnya, ia tahu kalau ada hal serius yang perlu dibahas. "Dimana Amelia?"

trouble [selesai]Onde histórias criam vida. Descubra agora