Chapter 3

1.4K 114 27
                                    

Perasaanku bukanlah permainan
yang dengan mudahnya kau gunakan sesuka hati, lalu kau hempaskan setelah tak ada gunanya lagi

🍂

Kantin SMA Taruna Bangsa. Ruangan yang khas dengan dominasi warna putih dan abu-abu itu, kini nampak padat dipenuhi oleh murid hampir satu sekolahan untuk mengisi perut yang mulai terasa lapar.

Anin mengedarkan pandangannya melihatnya setiap sudut kantin yang terlihat sesak. Hal inilah yang menjadi alasan baginya untuk lebih suka pergi ke kantin pada waktu istirahat hampir berakhir.

Ia masih berusaha mengatur ritme napasnya. Setelah berhasil keluar dari zona kecanggungan bersama dua mantannya tadi, akhirnya ia sampai juga di tempat ini.

Anin hendak melangkah masuk, tetapi seseorang dengan kasarnya sengaja menabraknya. "PAK MAMAN, BAKSO SATU PORSI," teriak seorang gadis yang menabrak Anin tadi.

"Bisa gak, sih? Gak usah teriak-teriak?" Anin berkata ketus seraya menatap tajam gadis itu. Kemudian, pandangannya menelisik dari ujung rambut sampai kaki cewek yang ada di sampingnya.

"Eh, siapa lo? Berani sama gue?" Gadis itu terlihat menantang Anin dengan tatapan nyalangnya juga dagu yang sedikit terangkat.

Anin mendengus. Sepertinya, kini ia harus lebih abai terhadap hal-hal sekitar lagi, mengingat gadis di sampingnya ini sudah menjadi musuhnya sejak berpacaran dengan Afkar dulu. "Ngapain takut sama lo? Sama-sama makan nasi, kan?"

"Dari dulu tuh mulut minta gue potong ya!" Gadis itu terpancing emosi mendengar balasan Anin.

"Shannie, Shannie! Yang pantes dipotong itu mulut lo apa mulut gue?" Anin mengangkat sebelah alisnya.

Gadis yang Anin panggil 'Shannie' tadi, langsung menudingkan jari telunjuk ke arah dahi Anin. "Jangan macem-macem lo sama gue! Lo gak tau, kan, gue ini siapa?"

Anin mengernyitkan dahinya, merasa tak suka dengan apa yang Shannie lakukan. Dengan cepat, ia menepis tangan gadis itu keras. Membuat pemiliknya langsung meringis kesakitan. "Gue udah tau lo siapa. Gak perlu diulangin lagi."

Ia malas memperpanjang urusan ini. Anin tahu, sampai fajar berganti senja pun, kalau berdebat dengan perempuan yang ia pikir sebagai titisan iblis ini, pasti tidak akan ada berakhirnya. Anin sebenarnya heran, karena sejak ia berpacaran dengan Afkar dulu, Shannie pasti akan mencari masalah untuk membuktikan seolah ia yang paling benar. Satu hal yang sempat Anin pikir, Shannie juga menyukai Afkar sejak dulu.

Dengan santai, Anin melangkahkan kakinya meninggalkan Shannie yang masih memegangi tangannya di ambang pintu. Gadis itu tertawa remeh lalu berujar, "Tangan lemah aja belagu."

Shannie melotot, merasa tak terima mendengar penuturan Anin. "Orang kaya gitu aja dulu pernah jadi pacarnya Afkar," gumammya kesal.

Sebagai sang primadona SMA Taruna Bangsa angkatan 25, gadis bernama Shannie Marvelia itu membuatnya ditakuti kalangan siswi adik kelas. Parasnya memang tidak bisa diragukan lagi, bahkan, Anin pun juga mengakui kalau Shannie termasuk golongan kelas atas se-angkatannya.

Anin duduk di meja dekat jendela, karena hanya itu yang tersisa. Menatap arah luar, ia dengan kesabaran yang terpaksa, harus menunggu sampai pesanan makanannya datang. Teringat kronologi tadi, Anin kembali menahan rasa kesalnya. Diganggu Afkar, bertemu Elvan yang membuatnya tegang, dan yang terakhir, berdebat dengan Shannie. Ia memijit pelipisnya pelan. Ini baru hari pertama. Dan tersisa sekitar sebelas bulan untuk bisa keluar dari sekolah ini.

"Kelas sepuluh ada masalah, kelas sebelas ada masalah. Masa sekarang gue juga harus berhadapan masalah sama mereka lagi, sih?" ujar Anin bernada frustasi. Ia memilih menelungkupkan kepalanya di atas meja, dengan kedua tangannya dilipat sebagai tumpuan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Anin berpikir, mungkin itu Pak Maman yang sedang mengantarkan makanannya.

PASSADO (END) Where stories live. Discover now