Chapter 23

484 47 26
                                    

Aku ingin mencegahmu, tapi aku tidak berhak untuk itu. Karena aku, bukan lagi siapa-siapamu. Aku hanyalah sebatas orang asing setelah berakhirnya kisah di masa lalu.

🍂

Anin memberikan sebuah botol minuman soda kepada Afkar yang sedang duduk di kursi kantin. Jam istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Tanpa melewatkan kebiasaannya, tepat ketika bel berbunyi tadi, ia langsung keluar kelas. Untung saja gurunya sudah keluar terlebih dahulu. Jadi, ia bebas langsung main cabut.

"Gue dari tadi gak denger lo ngoceh. Kurang makan, ya?" tanya Afkar begitu ia melihat wajah murung Anin terus terpampang.

Sejak tadi pagi, Anin memang benar-benar berbeda. Tidak ada lagi semua canda, marah, atau apapun yang ia tujukan pada Afkar. Kejadian beberapa hari yang lalu masih saja terbayang. Anin menelisikkan pandangannya ke segala penjuru kantin. Tidak ada Elvan. Kalau ia mengakui bahwa ini rindu, ia akan menolak hal itu.  Hanya saja, ia benar-benar merasa kehilangan.

Afkar mengernyitkan keningnya kala melihat gadis di sampingnya itu memegangi dada kirinya. "Lo kenapa?" tanya Afkar sedikit panik.

Anin meringis. Ia menggeleng pelan. "Gak ada apa-apa." Gadis itu pun membuka botol minumannya sendiri, lalu meneguknya. Tidak tahu kenapa, ia merasa ada kesulitan mengambil oksigen. Keringat Anin sedikit demi sedikit keluar. "Af, gue gak makan. Gue mau ke kelas aja," katanya kemudian.

Afkar menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa sama lo? Lo kelihatan menghindar banget sejak tadi pagi. Gue jemput lo, lo diem. Gue bonceng lo, lo diem. Sekarang, gue ajak lo ke kantin, lo diem. Gue ada salah apa lagi?"

Anin memejamkan matanya sejenak mendengar semua lontaran Afkar. Ia menyadari bahwa dari pagi tadi, semua tentang Afkar sedikit terlupakan. Semuanya berubah menjadi gamblang. Tidak ada letupan bisu lagi seperti biasanya. Entah karena dia yang memikirkan Elvan, atau ada reaksi tubuhnya yang melemah. Anin tahu, penyakitnya sedikit lebih buruk karena beberapa minggu terakhir, ia juga melupakan jadwal tranfus. Kalau diajak orang tuanya, ia menolak dengan alasan ingin ke rumah sakit sendiri, diantar Afkar. Padahal, ia berbohong. Mengingat ini, Anin akhirnya sadar akan satu hal lagi. Afkar tidak menanyakan tentang kesehatannya sama sekali. Sejak pertukaran siswa untuk tugas kelompok itu, Anin merasa semuanya benar-benar beda.

Mata bening Anin menatap Afkar sejenak. "Af, lo gak ada salah. Maaf, gue dari tadi emang beda banget ya? Pikiran gue lagi nyabang soalnya."

"Mikirin apa lagi?" desak Afkar membuat Anin meneguk ludahnya.

"Itu, kan beberapa minggu lagi kita mau ujian. Gue takut gak bisa. Belajar gue kurang maksimal." Anin mengalihkan pandangannya melihat pintu kantin yang tampak sepi karena semua murid tengah berdesakan di depan penjual makanan.

Afkar mengangguk. Ia menumpu dagunya dengan tangan kiri. "Oh, masalah itu." Berdeham sejenak, Afkar kemudian berkata, "Gini ya, Nin. Sekolah, belajar, ujian, itu dijalani. Usaha semampunya aja, jangan terlalu menuntut untuk selalu bisa. Karena kapasitas otak orang itu beda-beda. Lo udah sering ujian, kan, Nin? Dari TK pun, ujian akhir itu pasti ada. Ya, karena emang sistemnya pendidikan di Indonesia cuma gini-gini aja, sih. Coba lo mikir, Nin. Dulu, pas jaman mau UN SMP, apa yang lo pikirin? Takut juga, kan? Tapi, semua udah berlalu juga, kan? Waktu akan menyelesaikan semuanya."

Afkar melirik tangan Anin yang nampak teranggur di atas meja. Ia tersenyum menyeringai. Menarik-narik jari tangan Anin. Lalu ditarik se-tangannya. Ia genggam jemari itu dengan lembut. Dan mengernyitkan kening saat dirasa tangan itu berkeringat dingin. "Etdah! Ini kenapa lo beneran gugup, sih?"

Anin tidak menjawab sepatah kata pun. Ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Afkar.

"Udah 10 menit, Nin. Kita gak pesen makanan, nih?" tanya Afkar setelah ia mengecek kondisi depan penjual makanan gak se-antre tadi.

PASSADO (END) Where stories live. Discover now