Chapter 12

412 55 16
                                    

Jangan menangis. Sedihmu adalah sedihku.
🍂

Lorong utama sekolahan sudah sangat ramai. Itu karena beberapa menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Anin segera melangkahkan kaki menuju kelasnya.

Tepat setelah ia meletakkan tas di kursi, matanya langsung beralih pada sebuah kotak makan berwarna merah di atas mejanya. Dalam hati, ia mengira ini dari Afkar seperti waktu itu. Tetapi, setelah ia teringat kalau Afkar tadi membolos, rasanya ini dari orang lain.

Matanya kembali teralih pada sebuah note kecil di atas bekal itu. Tulisan rapi yang terukir di note itu, membuat Anin menggigiti bibir bawahnya.

Aku gak tau kamu bakal suka apa enggak. Tapi, ini aku buat khusus buat kamu. Gak tau kenapa, aku tiba-tiba keinget pas waktu masih pacaran dulu, kelas 10. Kamu suka sama nasi goreng buatan bunda aku. Sekarang, aku buat sendiri dengan resep yang sama, buat cewek yang namanya Anindia.

Seulas senyuman terbit di wajahnya. Ia tahu ini dari siapa. Adhitama Elvan Syahreza.

Anin menghela napas setelah dugaannya terbukti. Bel masuk kini berbunyi. Ia segera duduk di kursi. Menyimpan kotak merah itu pada laci.

Seorang guru bersanggul mini tengah berjalan dengan anggun namun penuh tatapan intimidasi ke kelas ini. Matanya yang tajam seperti biasanya, memandangi seluruh sudut kelas XII IPS 2.

"Selamat pagi, anak-anak." Bu Susi, menyapa seperti biasanya.

"Pagi, Bu," jawab mereka serentak.

"Tugas minggu lalu, silahkan dikumpulkan!" ucap Bu Susi dengan tegas, membuat kepala Anin serasa dilempar sesuatu.

Tugas? Tugas yang mana? Anin pun mulai bertanya-tanya dalam hati. Memandangi satu per satu temannya yang mulai mengumpulkan tugas, Anin pun meremas jemarinya.

"Terhitung tiga puluh lima buku yang terkumpul. Siapa yang belum?" Seperti adegan guru killer sedang mengamuk, seisi kelas langsung senyap.

Anin meneguk ludahnya.

"Alisyahtana Reitavarasa," ujar Bu Susi.

Pemilik nama itu langsung menyahut, "Sudah, Bu.

"Alunatasya Dewi Ringgriasti."

Lagi-lagi, pemilik nama membalas, "Sudah, Bu."

Anin semakin erat meremas jemarinya. "Anindia Maheswari?"

Jantungnya langsung berhenti berdetak sejenak. Matanya yang bulat menatap Bu Susi takut-takut. "I-iya, Bu?"

"Mana tugas kamu?"

Anin merasa kepalanya semakin berdenyut. Jantungnya juga semakin berdebar. Seperti sedang berada dalam dunia gelap yang berputar. "Sa-saya, lupa belum mengerjakan, Bu."

Bu Susi menggelengkan kepala. Tak ingin banyak marah untuk hari ini, guru itu langsung berkata, "Bawa buku kamu, kerjain tugas di perpustakaan. Jangan ikut pelajaran saya hari ini! Mengerti?"

Meneguk ludahnya, Anin pun mengangguk. Segera saja ia mengambil beberapa alat tulis, dan pamit menuju perpustakaan.

Sepanjang perjalanan, tatapannya kosong. Baru saja, tadi ia merasa dongkol dengan Afkar yang dengan entengnya bolos sekolah. Sedangkan ia, baru tidak mengerjakan tugas saja sudah merasa ada yang hilang seperti ini.

Ia berbelok ke kanan, kemudian lima langkah selanjutnya, ia sampai di tempat yang penuh buku itu. Setelah menyapa penjaga perpustakaan, ia pun melangkah masuk.

Anin memilih bangku di sudut ruangan dekat jendela. Lalu, ia membuka bukunya. Matanya langsung menangkap beberapa rumus yang mempelajari ilmu perbintangan. Jelas saja, ini pelajaran Astronomi. Kepalanya semakin memberat kala ia mencoba memahaminya.

Hari masih terlalu pagi, untuk seorang murid yang tengah memulai pembelajaran, langsung merasa pusing seperti ini.

Udah berapa kali ya, telat tranfusi? batin Anin bertanya-tanya.

Sesaat, ia kembali mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Tak sengaja, matanya langsung menangkap sosok Elvan yang tengah memilih beberapa buku di dalam rak tak jauh dari tempat Anin berada.

Anin ingin memanggilnya. Tetapi, bibirnya kelu untuk sekedar menyapa. Seperti terbukti bahwa bumi terdapat gelombang magnetik, ada sinyal perantara di antara mereka. Saat pikiran Anin mulai memanggil nama Elvan, tanpa disangka, cowok itu berbalik dan menatap Anin. Anin mengerjap beberapa saat setelah pandangan mereka bertubrukan.

"Kamu di sini?" Elvan pun berjalan mendekati Anin sambil membawa sebuah buku di tangannya.

Anin mengangguk saja. "Gak ngerjain tugas. Disuruh ngerjain di sini."

"Ya udah, aku temenin," ujar Elvan sembari mengambil duduk di sebelah Anin.

Anin hanya diam. Ia gugup. Sementara ketika matanya beralih pada buku yang menampakkan rumus-rumus itu, kepalanya kembali terasa berat. Menyadari gelagat aneh Anin, Elvan pun bertanya, "Kenapa?"

Anin tak menjawab. Ia hanya menggelrng pelan. Perlahan, ia mulai membaca materi di bukunya. Seperti kran air yang tersumbat, otaknya benar-benar susah untuk memahami deretan angka yang ada.

"Kok belum dikerjain?" tanya Elvan membuat Anin menoleh.

"Bentar, aku mau baca dulu." Elvan hanya mengangguk. Ia mengamati raut wajah Anin yang fokus mempelajari materi. Ia melihat peluh-peluh mulai merembes di pelipis gadis itu.

Merasa tak tega, Elvan beringsut mengambil tugas Anin dan mulai membacanya. Anin mendongakkan kepala menatap Elvan penuh tanya. "Kamu mau apa?"

"Lihat bentar." Mata Elvan mulai membaca deretan soal yang ada. "Jika suatu lokasi pada saat tengah matahari tongkat yang dipancangkan tegak lurus ditanah tidak memiliki bayang-bayang dapat ditarik kesimpulan...," Elvan menatap Anin.

"Ini, kan soal yang waktu itu udah kita pelajari," lanjutnya.

Anin mengangguk. "Aku ... lupa."

Elvan mengangguk paham. "Ini, jawabannya, lokasi berada antara 23,50 LU dan 23,50 LS E."

Melihat Anin yang kesulitan mencerna, ia pun berniat untuk menjelaskan ulang. "Aku jelasin dikit, ya. Jika bayang bayang benda tegak di permukaan bumi, berarti matahari berada di zenit benda tegak tersebut. Karena rentang deklinasi matahari -23,50 +23,50 peristiwa hilangnya bayang-bayang benda hanya dapat terjadi pada permukaan bumi dalam rentang lintang geografis tersebut. Jadi, jawabannya yang pilihan A."

Anin mendengarnya, tetapi tatapannya tetap kosong. "Kamu sakit?" tanya Elvan langsung.

"Aku ... melewatkan tranfusi," cicit Anin merasa takut.

Elvan menghela napas. "Papa sama mama kamu apa gak nganterin?"

"Beberapa minggu terakhir, mereka sibuk," jawabnya.

Elvan mengangguk paham. Ia segera mengambil alat tulis Anin, dan mengerjakan semua latihan soal itu dengan kilat. Tak membutuhkan waktu 30 menit, Elvan sudah selesai mengerjakannya. "El, ini kan tugas aku," ujar Anin merasa sungkan.

"Gak ada beratnya buat aku. Kesehatan kamu lebih penting," balas Elvan sembari mengelus kepala Anin.

Mata Anin menatap manik mata Elvan yang warna seperti lukisan pudar. "Kesehatan kamu sendiri gimana?" tanyanya.

Elvan tersenyum tipis. "Setidaknya, aku masih tertib jalanin pengobatan. Gak kaya kamu yang masih bergantung waktu luang."

"Makasih," ucap Anin tulus. Elvan pun mengangguk.

"Kapan lagi jadwalnya?" tanya Elvan.

"Akhir pekan."

Elvan menatap sayu gadis di depannya. Namun, pada tatapan itu ada sebuah binar asmara yang besar. "Jangan kaya gini lagi, ya? Nanti, kalo orang tua kamu sibuk, kamu bisa hubungin aku. Nanti kita barengan berobatnya."

Diam-diam, Anin merasa haru dengan penuturan Elvan. Ia tak menyangka, cowok ini masih seperhatian ini padanya. Matanya berkaca-kaca. Elvan yang melihatnya, langsung memberi isyarat dengan gelengan kepala.  "Please, don't cry, my angel." Elvan pun membawa Anin dalam pelukannya.

PASSADO (END) Where stories live. Discover now