Chapter 25

1.1K 66 9
                                    

Benar, sesuatu yang telah hilang, akan terasa lebih berharga.

🍂

Rasanya Elvan seperti ingin melompat saja biar cepat sampai di lantai bawah. Dengan langkah gemetar, ia pun berlari menuruni tangga. Sama sekali tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Afkar yang sempat mendengar teriakan dari Elvan dan Anin tadi, kini mematung. Jantungnya seakan berhenti berdetak juga. Sedangkan Shannie, gadis itu menatap Afkar penuh kebingungan. Tangan gadis itu masih terpaut di jemari Afkar setelah Anin beranjak pergi. Dan kini, pegangan itu disertai keringat dingin juga rasa gemetar.

"Af ...," panggil Shannie gugup. Afkar masih diam. Ia seperti berada di alam bawah sadar. "Af, sadar, Af. Itu tadi-" Belum sempat Shannie menyelesaikan kalimatnya, Afkar lebih dulu berlari secepat kilat meninggalkan gadis itu.

Setelah ia sampai di dekat tangga, matanya menatap ke bawah. Afkar mematung melihat darah segar mengalir di sekitar tubuh gadis yang baru saja ia hancurkan egonya itu terbujur kaku. Matanya juga melihat Elvan yang tengah meletakkan kepala Anin di pangkuannya sambil berteriak histeris.

Afkar dengan ragu menuruni tangga. Kesadarannya akan realita yang sedang ia hadapi saat ini, sulit ia terima.  Afkar mengusap keningnya. Ini nyata, benar-benar nyata.

"Nin, bangun, Nin. Kamu pasti kuat, Nin," kata Elvan di sela isakannya. Tangan cowok itu terus menepuk pelan pipi Anin. Ia tak peduli darah Anin telah mengotori sebagian seragamnya. Elvan tertunduk ketika gadis di pangkuannya ini sama sekali tak berniat membuka matanya. Elvan menyatukan dahinya dengan dahi Anin. Hidung mancung lelaki itu menyentuh hidung Anin. Isakannya semakin keras, namun sekuat tenaga ia menahan. Bibir Elvan gemetar. "Plis ... bertahan, demi aku." Elvan pun menggenggam tangan Anin.

Semua murid sudah mulai berkerumun. Bahkan, guru-guru yang sedang rapat langsung ke tempat ini. Ada beberapa yang sigap menelepon ambulans. Mereka yang melihat Anin tergeletak dipenuhi darah itu bergidik ngeri.

Afkar merasa hatinya diremas, melihat Elvan terus terisak sambil mendekap Anin. "El," panggilnya pelan dan penuh keraguan.

Elvan mengangkat kepalanya. Ia melirik sinis pada Afkar. "Ngapain lo di sini? Anin gak butuh cowok berengsek kaya lo lagi."

Beberapa menit kemudian, mobil ambulans tiba. Anin segera ditangani. Elvan pun ikut masuk untuk menemani Anin di dalam sana. Ketika Afkar juga hendak ikut masuk, Elvan dengan cepat mendorongnya. "Ngapain lo ikut, hah? Udah gue bilang, Anin gak butuh cowok kaya lo lagi!"

Dan setelahnya, pintu mobil itu tertutup. Meninggalkan pekarangan sekolahan yang masih nampak ramai, penuh keterkejutan. Afkar memandang gamang ke depan. Bibirnya kelu hanya untuk sekedar mengucap sepatah kata. Lalu, sebuah tangan menyentuh lengannya.

"Af, Anin ...." Afkar pun menoleh. Ia menatap Shannie dalam diam. "Gue gak tau semuanya bakal kaya gini. Ini bukan salah kita, lo gak apa-apa, kan?"

Bukannya menjawab, Afkar malah berlari menuju parkiran. Ia mengambil motornya dengan gerakan secepat kilat. Kemudian, motor merah itu keluar dari pekarangan sekolah juga.

***

Pintu ruangan ini sudah tertutup rapat. Membiarkan Elvan dengan segala perasaan campur-aduknya di luar. Cowok itu menumpukan dagunya pada kedua tangan yang terkepal. Merasa kepalanya kian memberat, ia memutuskan bersandar pada badan kursi. Jantungnya bergemuruh hebat. Cowok itu membiarkan air bening merembes lewat sudut matanya. Harusnya, ia tadi bisa melindungi Anin. Harusnya, ia bisa mencegah Anin menyusul Afkar. Harusnya, ia bisa menyembuhkan luka dalam diri Anin. Namun, semua hanyalah kata 'seharusnya' dan ia sekarang, hanya bisa merapal doa agar sesuatu yang lebih buruk tidak terjadi.

PASSADO (END) Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum