Chapter 15

411 47 0
                                    

Bahkan, setelah kamu memberi luka, aku tetap tidak bisa berhenti untuk memperdulikanmu.
🍂

Anin menyusuri lorong sekolahan dengan langkah pelan. Hari masih terlalu pagi untuk kebanyakan murid datang ke sekolah. Tetapi, Anin sudah berada di tempat ini untuk menunggu wali kelasnya datang.

Ia terus fokus menatap ke depan. Ada beberapa siswa yang sudah datang, tetapi tidak sebanyak ketika pukul 7 tersisa kurang 5 menit nanti.

Anin memilih jalan yang berlawanan menuju kelasnya. Sengaja ia berlama-lama di jalan, agar tidak memasuki kelas yang ia tebak masih tidak berpenghuni itu. Ia sendiri tak langsung memilih ke ruang guru, karena harus mengambil sebuah buku yang tertinggal di laci meja. Ketika ia melewati kelas XII IPS 3, Anin memperlambat langkahnya. Ekor mata gadis itu melirik ke samping. Berharap tidak menemui Elvan di sana.

Tetapi, di saat ia kembali mempercepat langkahnya, seseorang menghadangnya. "Kenapa jalannya harus muter, Mbak? Bukannya lewat sana langsung masih bisa?" Pertanyaan sengit itu masuk ke pendengaran Anin. "Oh, gue tau. Sekali cabe, ya tetep cabe."

Anin mendongakkan kepalanya. Menatap seseorang yang tengah berbicara tak benar itu. "Gue? Mau jalan lewat manapun, bukan urusan lo. Emang ini jalan punya lo? Enggak, kan?" Anin tak kalah sengit membalasnya.

Perempuan di depan Anin, yang tak lain adalah Shannie, sedang menatapnya nyalang. "Ada hubungan apa lo sama Afkar?" Sontak, pertanyaan yang terlontar itu membuat Anin merasa tertarik untuk membuat Shannie bungkam.

"Kenapa lo tanya ke gue? Tanya sendiri dong ke Afkar-nya." Anin menaikkan sebelah alisnya. "Lagipula, buat apa cewek macem lo tiba-tiba ngehadang jalan gue kaya gini, hanya cuma mau bahas tentang itu? Merasa gak laku lo, sampe harus ngerecokin ketenangan gue?"

Shannie merasa emosinya semakin naik mendengar jawaban Anin yang menjatuhkannya. "LO?!" Shannie hendak menampar Anin kalau saja tangan seseorang tidak mencegahnya.

Shannie menoleh ke samping. Ternyata, yang mencegahnya itu Elvan. "Lo kenapa sih, El? Gak usah ikut campur urusan gue!" ujar Shannie sembari menyentak tangan Elvan.

Dengan tenang, Elvan pun menjawab, "Gak ada gunanya lo kaya gini ke dia. Seharusnya, lo kalo suka sama Afkar, bersaing secara sehat. Emang dengan lo bersikap keras ke dia, itu bakal bikin Afkar tertarik dan pindah ke lo? Enggak, kan?"

Anin tertegun mendengar penuturan Elvan. Lelaki itu bahkan masih mau melindunginya walau semalam ia telah menyakitinya. Melihat Shannie yang pergi tanpa berkata apa-apa, Anin menghela napas. Dia menatap Elvan sejenak. Ketika ia hendak membuka mulut untuk berucap terima kasih, Elvan lebih dulu masuk kembali ke kelas tanpa mengucap sepatah kata apapun padanya.

Anin memejamkan mata sejenak. Elvan pasti sangat kecewa, batinnya. Ia lalu kembali melanjutkan langkah menuju kelasnya. Dan setelah punggung kecilnya menjauh, Elvan keluar lagi dari dalam kelas. Menatapnya dengan gamang.

"Bahkan, buat marah sama kamu aja, aku gak bisa, Nin," gumamnya. "Tapi maaf."

***
Hari ini, Anin sudah izin untuk tidak melanjutkan kegiatannya di sekolah. Ia sudah ada jadwal tranfusi darah jam 8 nanti. Sekarang, Anin sudah bersiap di depan rumahnya untuk menunggu Afkar datang menjemputnya. Entah apa yang dipikirkan cowok itu, sampai ia rela bolos sekolah untuk mengantar Anin.

"Halo cantikkk! Hah, untung gue gak telat jemput lo," seru Afkar sembari melompat kegirangan menuju arahnya.

"Dateng-dateng itu salam, gak kaya gitu," tegur Anin. "Emangnya kenapa kalo telat? Orang gue malah alhamdulillah kalo gak jadi dianter sama lo."

"Aish! Lo ngeselin banget, sih." Afkar mendengus sebelum ia ikut duduk di kursi teras di samping Anin. "Mama mana?"

"Masih siap-siap," jawab Anin sekenanya.

PASSADO (END) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt