Chapter 5

976 90 3
                                    

Tidak ada yang lebih indah, selain dua orang yang saling berdamai dengan masa lalunya, tanpa memikirkan sebuah luka yang pernah ada.

🍂

Anin menuruni tangga di dalam rumahnya dengan langkah gontai. Sebenarnya, dia malas bertemu dengan Afkar. Lagipula, kenapa Afkar tiba-tiba datang ke sini?

Setelah hampir sebulan tidak pernah menapakkan kaki di rumah ini, kini cowok itu terlihat tengah duduk di sofa ruang keluarga dan bermain catur dengan papanya.

"Udah mantan, masih aja cari perhatian," gumamnya kesal.

"Papa," Anin memilih menyapa Hermawan--papanya. "Lagi main apa?" Hanya untuk sekedar basi-basi saja, ia memilih bertanya hal yang padahal sudah ia ketahui jawabannya.

"Eh, kamu udah turun. Ini Afkar katanya mau ketemu kamu, tapi Papa ajak main catur dulu. Udah lama gak main sama dia." Jawaban Pak Hermawan membuat Anin memutar bola matanya.

"Ya iyalah, Pa. Anin udah bukan pacarnya dia lagi. Kenapa juga dia harus main ke sini, sama Papa lagi?!" Gadis itu mendengus kesal ketika melihat Pak Hermawan malah senyum-senyum tak jelas.

"Selagi janur kuning belum melengkung, apa yang telah rusak masih bisa diperbaiki," ujar Pak Hermawan.

Anin langsung menyahut, "Dan apa yang telah rusak, mustahil bisa diperbaiki sesempurna bentuk awalnya."

Pak Hermawan menatap Afkar yang megap-megap seperti ikan tanpa air. Pria setengah baya itu tahu, kalau Afkar hendak menyahut perkataan Anin, tapi selalu gagal. Memang siapa yang bisa membuat putrinya itu kalah dalam hal perang mulut? Pak Hermawan tertawa puas. Kini saatnya ia meluangkan beberapa menit untuk memberi kesempatan berdebat bagi anak ABG di depannya.

Pak Hermawan menepuk bahu Afkar. "Bales," katanya menginteruksi.

Afkar sedikit bingung menyusun kata-kata agar kalimat yang ia lontarkan nanti membuat siapapun terkagum-kagum.

"Kalau pun gak bisa sesempurna dulu, kita masih bisa bangun pondasi yang lebih kuat dari sebelumnya bukan?" Afkar mulai membalas.

"Sama mantan lo yang lain aja," balas Anin acuh dengan tangan bersedekap di depan dada.

"Gue maunya sama anak gadisnya Papa Hermawan. Yang sempat singgah di hati tapi belum terpatri. Nah, maka dari itu, gue pengin buat lo menetap di hati gue selamanya," kata Afkar seraya menatap Anin dengan tulus juga senyuman yang terukir di bibirnya.

Anin terdiam membisu di tempat. Matanya tidak bisa beralih membalas tatapan Afkar. Dulu, Anin sangat suka ketika Afkar menatapnya seperti ini. Tapi, sekarang rasanya begitu sakit, mengingat hubungan keduanya sudah berakhir.

Afkar mengambil sebuah gitar miliknya yang tadi ia letakkan di samping tempatnya duduk. Meminta izin pada Hermawan sebentar, lalu cowok itu mengajak Anin ke taman belakang rumah. Mereka duduk di sebuah kursi panjang bercat putih. Perlahan, jari Afkar menari di atas senar membentuk sebuah melodi.

"Biarkanku menggapaimu...,"

"Memelukmu, memanjakanmu." Afkar dengan gitar yang berada di pangkuannya itu, sedang berusaha untuk menarik perhatian Anin.

Malam tentu belum bisa dikatakan larut. Udara dingin menusuk badan mereka. Tetapi, seolah paham bahwa semesta tengah menyejukkan jiwa-jiwa yang lara, yang gelisah, yang membara, maka mereka berdua menikmati kedinginan malam ini.

"Dingin ya, Nin?" Afkar hanya sekedar basa-basi. Cowok itu menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. Kemudian, ia beringsut untuk menyalurkan kehangatan yang sengaja dicipta pada kedua telinga Anin.

PASSADO (END) Where stories live. Discover now