04. Happened to Meet

42.7K 4.5K 168
                                    

Cassy berjalan keluar kelas dengan menenteng tas. Seragam yang ia kenakan masih rapi, parfum yang melekat masih harum, tatanan rambutnya sama sekali tak berantakan. Di antara siswi tahun pertama lainnya, dialah yang paling rajin, bersih, dan rapi.

Dia sedang berjalan di koridor sepi menuju ke kafetaria tengah dimana Abby dan River telah menunggu. Setelah makan siang, mereka bertiga dijadwalkan akan mendaftar klub musik.

Tanpa diduga, Max keluar dari gudang penyimpanan perlengkapan olah raga. Tak ada guru atau murid lainnya. Pertemuan tak disengaja ini langsung membuat mereka tertegun sejenak.

Max juga tipikal murid paling rapi dan rajin. Seragam yang melekat di tubuhnya sama sekali tidak kusut. Inilah yang membuat Cassy senang melihatnya. Dari dulu, dia menyukai laki-laki yang bersih, wangi dan rapi, terlebih jika memiliki senyuman indah.

"Hai," sapa Max sembari mengunci kembali pintu gudang itu. Samar-samar ada bekas goresan di telapak tangan kanannya. "Kau mau kemana?"

"Kafetaria tengah," sahut Cassy ragu ingin menannyakan keadaan luka itu, tapi tak berani, "aku mau makan siang."

"Aku juga, temanku menunggu di sana, ayo kesana sama-sama."

Mereka berjalan beriringan. Max menyembunyikan kedua tangannya di balik saku celana. Sementara Cassy terus menunduk, memandangi langkah kaki sendiri. Sudah berkali-kali mereka mengobrol, tapi dia masih belum terbiasa berdekatan dengan seorang laki-laki.

"Jangan tegang, kenapa kau selalu tegang saat bersamaku?" Max membuka obrolan.

Cassy ingin sekali menjawab, 'aku tegang pada siapapun', tapi ia merasa jawaban itu tidak sopan. Jadi jawabannya adalah seperti biasa, "maaf, aku tidak tegang."

"Aku membatasi jumlah formulir pendaftaran klub musik, kau harusnya senang aku menyisakan tiga— untukmu dan dua temanmu. Khusus untukmu, Cassy, aku akan memberikan perlakuan istimewa."

"Kurasa itu tidak perlu, harusnya ada tes, bukan?"

"Jujur saja, kalau kau orang lain, kau takkan bisa masuk klubku." Max menoleh ke arah Cassy dengan senyuman malaikatnya. Ucapan barusan bermakna jelas kalau orang tak berguna tidak akan bisa masuk klub. "Tapi berhubung kau memujiku saat itu, kau akan mendapat perlakuan khusus, lagipula aku senang bisa mengajarimu nanti—sudah kau putuskan memainkan musik apa? biola, bukan? Aku suka biola, kau juga suka?"

Apa aku sudah bilang kalau setuju diajari?, pikir Cassy bingung sendiri. Dia tidak bisa memutuskan hal semacam itu, tidak tanpa persetujuan orangtuanya. Jam belajar di sekolah, jam belajar di rumah, kursus ini dan itu sudah dijadwal oleh mereka, tidak mungkin dia mendadak mengiyakan jadwal pelatihan musik tambahan.

"Ada apa? ada yang salah dengan ucapanku? Kau sudah berkata masuk klub musik. Cassy, kau berubah pikiran?" kata Max mengingatkan, ada penekanan pada kalimatnya seolah-olah dia akan benci jika lawan bicaranya berkata tidak jadi.

Cassy menjawab, "begini, mengikuti klub memang kewajiban, jadi tidak akan menganggu jadwal di rumah, tapi kalau latihan musik tambahan di luar jam klub—aku rasa sulit."

"Kau ada berapa kursus?"

"Dua, ilmu matematika dan bahasa Italia."

"Kau tidak ada jadwal ketika malam bukan?"

"Tidak."

"Kalau begitu, aku akan ke rumahmu setiap sabtu malam, katakan itu pada orangtuamu, kau dapat tambahan kursus musik, dan itu gratis." Max kembali menyunggingkan senyuman pada Cassy. "Bahkan kau perlu menyuruh orangtuamu memberhentikan guru matematika dan bahasa Italiamu, aku bisa mengajarimu lebih baik. Untuk bahasa Italia, aku sangat fasih, mendiang ibuku berasal dari Sisilia."

Obsessive Boyfriend [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang