05. Maxim Macallan

39.2K 4.2K 54
                                    

Cassy dan dua temannya mengisi formulir pendafataran klub setelah makan siang di kafetaria. Mereka duduk melingkar di salah satu meja yang telah di siapkan. Banyak murid tahun pertama yang ikut mendaftar pula. Berbeda dengan mereka, Cassy cenderung kehilangan minat. Dia bingung dengan sosok Max, terkadang tersenyum padanya seperti layaknya malaikat, namun sekarang dia meliriknya tajam seolah-olah iblis yang mengintai.

Ya, Max sedang berdiri di samping grand piano, jemarinya iseng menekan tuts. Semua orang mengira itu adalah permainannya, bahkan teman satu tingkat dengannya pun terdengar mengeluarkan guyonan. Mereka semua berkata bahwa Max sedang berniat pamer pada calon anggota baru.

Akan tetapi kenyataannya, laki-laki itu hanya melihat ke arah Cassy. Dia tidak peduli dengan segala ocehan yang mengarah padanya. Dia benci melihat pemandangan itu—pemandangan Cassy yang sedang berbicara dengan orang lain.

River menepuk bahu Cassy. "Kenapa kau melamun? Kau sudah selesai?"

Cassy tersadar dari lamunannya. Setelah melihat sorot mata penuh amarah dari Max, dia ragu kalau jatuh hati pada orang seperti itu. Aneh, sering berubah-ubah suasana hati, dan seperti menyimpan banyak rahasia. Siapa sebenarnya Maxim Macallan ini?

"Aku tidak yakin ikut klub musik ini—" katanya sembari melihat formulir yang telah dia isi. "Aku tidak bisa bermusik, dan tidak mungkin juga."

"Kekasih barumu sedang berusaha membuatmu terkesan itu, lihatlah," bisik River sembari menoleh ke arah Max, "kalau kau mau, kau boleh mengajaknya ke pestaku—aku ingin mengundangnya, tapi tak sopan mendadak mengundang kakak kelas ke pesta pribadi."

Cassy sama sekali tak ingin melihatnya sekarang.

"Wooah~" Abby mengalihkan perhatian ke penampilan salah satu teman sekelasnya yang sedang unjuk kemampuan bermain biola di anggota klub senior. "Kurasa sebentar lagi, aku juga mau coba. Kalian belum tahu, bukan? Biola itu keahlianku dari kecil."

"Aku jago Cello," sahut River yang langsung disambut senyuman hangat Abby. "Kita benar-benar akan jadi anggota utama di orkestra tahunan nanti, nilai sosial, nilai ketrampilan pasti bagus."

Cassy berdiri dari kursinya, ingin sekali pulang. "Aku tidak yakin bisa masuk klub ini, aku sungguh tak tahu apapun tentang musik, tangga nada pun tak tahu."

Max berjalan menghampiri mereka. Dia sudah merasa kalau gadis itu ingin melarikan diri lagi. Untuk menghentikan niat tersebut, begitu sudah sampai di meja mereka, dia merebut formulir Cassy.

"Sepertinya sudah selesai, kau bergabunglah dengan murid lainnya, nanti biar diberikan beberapa arahan dan jadwal kegiatan," katanya sambil mengamati tulisan tangan Cassy, "tulisanmu indah, ngomong-ngomong."

Barusan kelihatan marah, sekarang tersenyum, ada apa sebenarnya?, pikir Cassy mengerutkan dahi.

River berniat untuk memberikan pujian pula. "Cassy paling rajin di kelas dan—l"

Max tak menganggap River ada. Dia hanya melihat Cassy, "Cassy, ayo cepatlah ke kursi murid baru." Ada kesan perintah diiringi rasa marah di perkataan itu. Dia menuding ke arah kursi-kursi dekat piano, tempat para anggota baru yang telah selesai mengumpulkan formulir. Seorang kakak kelas laki-laki sedang memberikan kertas berisi jadwal kegiatan pada mereka. "Ada temanku disana."

Cassy menatap River dan Max bergantian. Dua-duanya memiliki pandangan yang berbeda, satunya bingung, satunya marah. Dia mulai tersadar, pandangan yang diberikan Max kepadanya selalu diselimuti rasa tak suka setiap kali dia bersama River.

Merasa tidak nyaman, dia langsung berpamitan, "aku—tidak bisa berlama-lama sebenarnya." Dia menoleh pada Abby. "Aku titip semua laporan kegiatannya ya—aku pulang dulu."

Tanpa menunggu balasan, dia kabur kembali. Cara yang sama seperti pertama kali masuk ruang musik. Bukan cinta, pasti bukan cinta, pikirnya dalam hati. Dia meyakinkan diri untuk tak terlampau jatuh hati pada sosok aneh Max.

Max membiarkan Cassy pergi, kemudian menatap Abby. Dia tersenyum ramah sembari memberikan formulir tadi. "Bisakah kau serahkan ini pada teman kalian yang berambut pirang itu, dia wakil dari murid tahun pertama. Kalian kesanalah, biar dibagi kelompok dan lain-lain."

Abby mengangguk. "Tentu." Hatinya berbunga-bunga hanya karena diajak bicara sosok Max. Dia segera berdiri dan pergi bersama River. "Ayo, Rive."

Max memperhatikan mereka menjauh. Cara termudah mendekati seseorang adalah mendekati teman-temannya. Setelah tahu apa yang akan dia lakukan, dia tersenyum bahagia.

_____

Kediaman mewah Max berada di kawasan paling Elite di kota Cedar City. Sebuah mansion kuno yang sudah direnovasi sehingga telah mendapat sentuhan modern. Di rumah ini, dia hanya tinggal bersama ayah dan kakak lelakinya. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, hampir tidak pernah ada yang berbicara meskipun satu rumah. Sang ayah hanya berada di ruang kerjanya sepanjang waktu, sedangkan sang kakak tak pernah menganggapnya ada.

Keluarga Macallan sendiri merupakan keluarga yang memiliki usaha makanan beku secara turun temurun. Produk mereka sudah merajai pasar dari tahun ke tahun, dan penerus usaha ini adalah—Leo Macallan, anak pertama.

Leo merupakan anak haram dari Tuan Macallan. Sebelum menikahi ibu Max, dia lebih dulu menjalin hubungan gelap dengan ibu Leo. Tidak seperti Max yang selalu hidup dalam kemewahan dan pelayanan tanpa henti dari para pelayan, masa kecil Leo dihabiskan hanya dengan bersama sang ibu. Kebenaran ini baru terungkap tiga tahun belakangan.

Max masih belum menerima hal ini.

Rumah itu bagaikan tempat makam. Bahkan para pelayan saja tidak saling berbicara. Tak ada suara apapun, tak ada yang lain, kecuali melodi dari biola Max yang perlahan terdengar—melewati lorong-lorong rumah.

Di dalam kamar, dia menggesekkan bow di benang biolanya. Melodi sedih yang selalu dia mainkan, seperti saat pertama kali bertemu dengan Cassy.

Membosankan, semuanya membosankan, ucapnya dalam hati. Orang sepertinya, yang selalu mendapat kemudahan, selalu mudah bosan. Apapun sudah disediakan tanpa diminta, dan apapun yang dia inginkan akan terlaksana.

Ayahnya tak peduli apapun yang dia lakukan, pria itu hanya mementingkan pekerjaan. Dia berpikir dengan menyediakan puluhan pelayan, maka tanggung jawabnya mendidik anak sudah hilang. Padahal karena ulah para pelayanlah yang membuat Max menjadi begini—selalu ingin dinomorsatukan.

Dan akibatnya, Leo Macallan, yang menjadi pewaris nomor satu di keluarga ini menjadi beban pikiran untuknya. Hanya lantunan biola yang mampu menenangkan dirinya saat di rumah seperti sekarang.

Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka paksa.

Leo berdiri di ambang pintu dengan kondisi kening yang berdarah karena goresan. Melihat hal itu, Max menghentikan gesekan biolanya.

"Oh, aku tak tahu kau disitu, Kakak." Max memasang wajah keheranan. "Kau berdarah, ada apa denganmu?"

"Kau—kau berusaha mencelakaiku lagi'kan? Itu ulahmu'kan? Kau sengaja melonggarkan rak atas meja dapur." Mata leo berkilatan amarah. Rasa nyeri akibat goresan di kening bukanlah apa-apa jika dibandingkan rasa geramnya sekarang

"Mana mungkin. Perlu kupanggil dokter?"

"Jangan bermuka dua di depanku, Brengsek."

"Memangnya apa yang kulakukan?"

"Rak itu! Para pelayan bilang, kau terakhir kali berada di dapur sebelum mendadak raknya menimpaku!"

"Kau menuduhku? Mana mungkin aku mencelakaimu? Kau'kan kakakku."

"Sampai kapan kau tak suka padaku?"

"Kenapa kau bicara begitu? Aku menyukaimu, dari dulu aku ingin punya saudara, terlebih laki-laki. Jangan jahat padaku, kita harusnya bekerjasama, bukan? Demi kelangsungan keluarga Macallan di masa depan. Kau kakak, aku adik, aku akan mendukungmu sebagai nomor dua."

"Omong kosong, kau iblis."

"Jangan begitu, aku tidak paham apapun yang kau ucapkan."

"Kalau aku punya bukti, akan kubuat kau menyesal."

Max tetap mempertahankan senyum manisnya.

______

Obsessive Boyfriend [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang