Arkan itu ....

796 149 35
                                    

Aku menunggu kehadiran Paul di basecamp yang sudah ramai. Teleponku tak kunjung diangkat. Sebenarnya dia kenapa, sih?

"Kalau dia enggak mau datang, jangan dipaksa. Mungkin dia butuh waktu." Ucapan Muhzeo itu membuatku mengembuskan napas kasar.

"Ze, lebih baik kita selesaikan semuanya sekarang daripada nanti jadi semakin ribet. Gua punya firasat jelek soal ini." Aku menggigit jari sembari memejamkan mata dan berusaha berpikir positif kalau Paul akan segera datang.

Muhzeo hanya mengangguk sembari mengelus kepalaku.

"Is! Gua bilang enggak mau dipegang, ya, enggak!" Aku kesal karena Muhzeo masih sering secara sengaja melakukan kontak fisik kepadaku walaupun secara tak langsung.

"Ya sudah. Wisuda nanti langsung aku halalin, ya?" Aku melotot sembari memberi kode bahwa ada Elsa di samping kami. Seharusnya dia menghargai perasaan Elsa yang baru saja patah.

Muhzeo yang merasa bersalah itu langsung pamit menuju ke tempat lain saja agar tak memperkeruh suasana. Elsa terlihat menatap kosong ke arah depan. Aku berusaha menghiburnya dan mengajak berbicara. Namun, ketika pembicaraan kami habis, maka tatapan matanya akan kosong kembali.

"Sorry, telat. Hujannya lumayan deras tadi." Aku menoleh dan tersenyum saat melihat kedatangan Paul. Aku menyuruhnya untuk duduk di sebelah kananku karena di sebelah kiriku sudah ada Elsa. Namun, saat ia akan duduk, Elsa langsung menghindar dan izin pamit menemui Auna.

Belum sempat dia beranjak pergi, aku pun langsung menarik tangannya dan berusaha untuk menyuruhnya duduk. Aku memanggil Muhzeo dan Hilmi, bersiap untuk melakukan sidang dadakan. Mumpung kegiatan ambulans masih akan dimulai sehabis maghrib nanti. Pokoknya semua permasalahan harus selesai hari ini!

Kami menjauh dari kerumunan basecamp agar tak mengganggu yang lain. Namun, di saat genting seperti ini, ada saja hantu-hantu yang mengajak main.

"Kakaknya pernah main di sini, ya? Sama Abang itu!" Suara ocehan hantu berwujud anak kecil itu membuatku langsung menoleh ke arah yang ditunjuknya. Sepertinya Muhzeo juga mengikuti arahannya.

Betapa terkejutnya aku saat hantu itu menunjuk ke arah Arkan yang tengah duduk bersama teman-teman lainnya.

Aku pamit undur diri sebentar kepada Muhzeo dan yang lainnya untuk membicarakan hal yang dimaksud oleh hantu anak kecil itu lebih dalam.

"Maksud kamu tadi apa?" tanyaku sembari membuang wajah karena kuyakin bahwa sebentar lagi wajah anak kecil yang manis itu akan berubah menjadi menyeramkan.

"Aku sering melihat kalian bersama. Namun, waktu itu aku hanya melihat lelaki tadi dengan pacarmu itu bermain ke sini berdua saja. Saat pacarku ikut evakuasi korban, temanmu itu berbincang-bincang dengan lelaki yang kutunjuk tadi."

Aku mengerutkan kening. "Lalu?"

"Aku tidak tahu lagi. Aku hanya tau soal itu." Aku hanya diam sembari mangut-mangut.

Tapi apa mungkin hal yang kupikirkan benar-benar terjadi?

"Terima kasih." Aku meninggalkannya dan menuju ke arah teman-temanku lagi.

Paul terlihat santai, tapi dengan wajah yang sedikit menunduk. Kulihat Elsa hanya bermain-main dengan ponselnya.

"Paul, sebenarnya apa yang membuat lo memutuskan hubungan sepihak dengan Elsa?" Semua mulai menatapku, tapi kulanjutkan kembali pembicaraanku.

"Gini-gini ... kita ini sahabat, 'kan? Gua enggak mau persahabatan yang sudah kita jalin lama ini tiba-tiba kandas hanya karena cinta. Gua pengen banget kalau seandainya di antara kita ada yang putus cinta, ya, konsekuensinya kita tetap bersahabat baik walaupun memang harus menahan ego sakit hati." Aku melirik ke arah Elsa yang mulai menatap tak suka.

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang