Astral Projection

371 80 7
                                    

"Hai! Bagaimana keluh kesah kamu setelah selama dua bulan di Belanda? Maaf kita baru vidcall lagi, lagi masa sibuk, nih. Maklum aku lagi banyak banget kesibukan akhir-akhir ini."

Aku berucap sedikit cerewet kala video call kami–aku dan Juju–tersambung pada siang hari setelah aku menyelesaikan tugas kuliahku.

"Seru banget! Aku banyak belajar di sini. Ya tapi tetap lebih seru di sana karena aku bisa bercerita banyak denganmu. Aku sudah memiliki beberapa teman, sih. Walaupun memang masih ada sedikit kendala bahasa yang lama-lama terbiasa. Kamu sekeluarga sehat?"

"Alhamdulillah, sehat! Seru ya di sana. Jadi pengen susul kamu ke sana tapi belum ada waktu, hehehe."

"Kapan-kapan ke sini, ya! Pengen banget curhat sama kamu lebih dekat."

"Eum, enggak bisa janji, sih, aku. Oh iya, kamu tinggal di mana? Aku lupa."

"Di flat gitu. Lumayan, sih, ada promo untuk anak kuliah seperti diriku. Yah, lumayan juga untuk memangkas pengeluaran, tapi ...."

Juju menghentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan kembali.

"Angker, Dir!"

"Angker? Kenapa memang?"

"Jadi .... " Ia mengambil posisi ternyaman sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya kembali. "Pertama kali aku menjejaki kaki di sini, tiba-tiba ada suara lonceng. Kebetulan aku cek flat itu sama pemiliknya langsung. Dia, sih hanya kasih tau kalau itu keisengan makhluk saja. Awalnya aku mau nolak untuk ambil flat ini. Karena takut terbayang-bayang. Ya, tapi mau gimana lagi. Biaya hidup di sini kan lumayan. Mau enggak mau harus nurunin ego."

"Tapi setelah itu si pemiliknya cerita tentang bunyi lonceng itu enggak?"

"Enggak, sih. Soalnya aku juga enggak tanya karena lebih baik enggak tahu daripada jadi takut nantinya, 'kan?"

"E–eh, iya juga, sih. Btw, ada tetangga di situ, 'kan?"

"Ada, kok. Flatnya itu lebih ke kontrakan tapi mewah banget. Beda dari kontrakan yang ada di Indonesia. Ramah-ramah juga, sih, tetangganya."

"Alhamdulillah, kalau begitu."

"Tapi aku sering banget kayak lihat dua nenek-nenek di depan rumah tetanggaku yang memang lebih mengacu ke arah rumahku, sih. Saat aku tanya ke tetanggaku, enggak ada nenek-nenek yang tinggal di dekat situ. Jelas saja di situ lebih banyak mahasiswa ketimbang yang sudah berkeluarga ataupun yang sudah lansia." Ia membenarkan ikatan rambutnya.

"Oh iya, ada lagi. Waktu aku mau buang air kecil malam-malam, tiba-tiba ada yang ketuk pintu kamar mandiku. Bayangkan saja, jam dua ada yang mengetuk pintu kamar mandi padahal aku sendiri tinggal di flat itu. Akhirnya karena takut keluar kamar mandi, aku telepon temanku yang rumahnya dekat. Setelah dia datang, aku langsung ngibrit ke luar sambil tutup mata. Beruntung enggak ada apa-apa. Terus dia masuk dan temani aku sampai pagi."

"Aih, itu sudah lumayan berat gangguannya. Ada lagi?"

"Ada. Dan ini sering banget terjadi. Perkuliahan aku yang sekarang ini sibuk banget, Dira. Alhasil, kadang aku cuma beli makan, tapi lupa memakannya. Anehnya kalau ada makanan yang aku tinggal hingga larut malam, pasti makanan itu langsung hilang rasanya. Bentuknya masih utuh. Mulai dari letak saat kutaruh makanannya, bungkus, dan juga isinya. Aku kira karena kesalahan tukang yang memasak, tapi ternyata begitu terus setiap saat di situasi yang sama. Makanya sekarang aku lebih sering makan di luar."

"Kalau yang aku lihat, kayaknya makanan kamu di serap sarinya oleh penunggu rumah itu."

"Penunggunya cewek atau cowok?"

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang