Sydney - Lembaran Baru Dira

447 88 19
                                    

"Aaa, kau kenapa bloon sekali, sih ingin meninggalkanku di sini? Kau mau aku kesepian, ya? Kau kan tahu kalau tidak ada sahabat lain sebaik dirimu, Dira! Ah, anak nyemot, huaaaa!" Elsa menangis kejer di pelukku hingga menyebabkan kerudungku basah akibat terus mengusap air matanya.

"Ah, Elsa, C'mon! Kita masih bisa video call setiap saat, kok!"

"Nanti tak ada sahabat yang bisa kupeluk, huaaa! Tante Violin jangan bolehkan Dira pergi, dong!" Ia masih setia merengek layaknya anak kecil.

Aku yang sedari tadi menangis pun akhirnya mulai tertawa. Tak hanya itu, Paul dan Hilmi pun ternyata ikut menangis seraya menenangkan satu sama lain.

"Satu hari aja, ya?"

"Ngaco! Nanti kalau sudah sukses, aku janji akan kembali dan kita sama-sama lagi InsyaaAllah, ya?"

Elsa mulai melepaskan pelukku dan menyodorkan jari kelingkingnya. "Janji?"

"InsyaaAllah, janji akan selalu ditepati!"

Ia memelukku kembali. Kali ini dengan senyum semringah dan tatapan mata penuh harap. "Aku yakin kau akan selalu menepati janji yang kau buat. Aku sudah mengenalmu sejak kecil. Pokoknya selalu hubungi diriku, ya!"

"Pasti, bestieee! Kau termasuk jajaran orang penting dalam hidupku!"

"Hiks ... srooot ...." Dengan sembrononya Paul mengeluarkan kotoran ajaib dari dalam hidupnya dengan menggunakan tisu. "Sedih banget gue gila! Tapi–"

"Paul jorok!"

"Hehehe, maaf. Eh, tapi lo yakin enggak mau kasih kabar ini ke Muhzeo? Setidaknya dia masih jadi sahabat kita, 'kan?"

Pertanyaan Paul itu berhasil membuat seluruh mata tertuju padaku. Aku hanya bisa tersenyum meyakinkan.

"Dia memang masih sahabat kita, tapi dia kini punya dunianya sendiri. Aku enggak akan memaksa siapapun untuk tetap menjadi bagian penting dalam hidupku. Karena aku tahu, orang-orang tersebut adalah orang-orang terpilih yang enggak akan pernah sekalipun terpikirkan untuk meninggalkanku. Kalau yang dia mau seperti itu, maka aku bisa apa? Setidaknya melihat dia kini bahagia pun rasanya sudah lebih dari cukup bagiku."

Seutas senyum paksaan menghiasi wajahku. Mamah dan Papah langsung memelukku. Disusul dengan Kak Kenan, Arter, Elsa, Paul, dan Hilmi.

"Eh, sudah! Pesawatnya sebentar lagi sudah mau jalan, tuh!" ucap Arter setelah ada pengumuman yang samar-samar terdengar.

Aku tersenyum seraya mempersiapkan dua koper yang akan segera kubawa.

"Aku pamit, ya! Jaga kesehatan untuk kalian semua. InsyaaAllah setelah ini akan ada Dira versi terbaru yang jauh lebih baik lagi. Terima kasih sudah mendewasakan Dira hingga sampai di titik ini!"

Aku tersenyum pedih dan mulai melambaikan tangan pada semua yang kembali menangis haru.

"LO TETAP YANG TERBAIK BAGI KITA, DIRA! JAGA KESEHATAN DAN DIRI LO! GUE YAKIN LO BAKAL SUKSES DUNIA AKHIRAT! WE LOVE YOU!" Paul mulai berteriak dan menangis histeris.

Aku hanya bisa menutup mulut karena tak menyangka bahwa kasih keluarga dan persahabatan ini benar-benar sangat erat hingga selalu membekas di hati.

Teruntuk Indonesiaku, terima kasih atas semua kebaikan yang telah mendewasakanku hingga sampai di titik ini. Aku harus pergi sebentar untuk mengejar suatu kebaikan di negeri orang dan aku berjanji pada diriku untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari hari ini. Aku tahu ini berat, tapi aku yakin akan kuasa Tuhan. See you, Indonesia juga orang-orang tersayang dengan beribu kenangan yang tak akan pernah pudar.

Bisikan Maut ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora